Magelang, Gatra.com – Sugeng Prayitno (54 tahun) tampak telaten membuat sketsa wayang kulit Bima. Diperhatikannya betul detail wiru (lipatan kain) hingga irah-irahan (mahkota).
Sudah lebih dari 15 tahun, Sugeng Prayitno menekuni kerajinan wayang karton. Bahan karton dipilih karena murah, sehingga wayang lebih gampang laku.
“Dalam pemasarannya, saya lebih beruntung karena ini lebih terjangkau masyarakat. Jauh lebih murah. Kalau dibuat hiasan sudah mendekati yang kulit. Sudah bisa menyamai,” kata Sugeng saat ditemui Gatra.com di lokasi pameran Magelang Fair 2019, Kamis (2/5).
Wayang kulit ukuran 30 centimeter pada umumnya dibanderol Rp400 ribu. Wayang kulit ukuran normal seperti yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang, paling murah Rp800 ribu hingga Rp1 juta.
Sugeng mengaku pernah membuat wayang karton setinggi tubuhnya yang dijual hanya Rp500 ribu. Wayang itu pesanan khusus seorang guru SMA di Bandung, Jawa Barat.
Wayang karton buatan Sugeng dihargai Rp35 ribu hingga Rp 250 ribu. Dalam pameran, wayang-wayang ukuran kecil yang bisanya banyak laku. Orang masih sering eman-eman, berkeberatan, merogoh kantong untuk membeli wayang seharga ratusan ribu.
Proses pembuatan wayang karton dengan wayang kulit hampir sama. Wayang karton juga ditatah (dipahat) persis seperti cara membuat wayang kulit. Bedanya, motif tatah wayang karton tidak bisa sehalus wayang kulit.
“Kalau karton saya buat sehalus kulit, remuk. Saya fokuskan tatah wayang di bagian dada ke atas. Sungging (pewarnaan) juga dibuat rapi. Orang yang tidak tahu, wayang karton dikira wayang kulit,” kata Sugeng.
Perajin wayang karton bagi Sugeng hanya sebagai pekerjaan sampingan. Sehari-hari dia mengajar mata pelajaran seni, budaya, dan keterampilan (SBK) di SD Kristen 2 Kota Magelang.
Di sekolah, Sugeng jarang sekali mengajarkan teknik menggambar wayang. Menurutnya, anak-anak sekolah dasar belum mampu menerima pelajaran melukis wayang yang rumit.
“Anak-anak enggak nyambung kalau menggambar wayang. Hanya sedikit-sedikit sering saya campuri membuat gambar wayang setengah badan,” katanya.
Meski tidak mengajar melukis wayang, Sugeng berharap, melalui kurikulum sekolah anak-anak diajari budi pekerti yang terkandung dalam kisah pewayangan. Menurut dia, kisah pewayangan kaya falsafah hidup yang bermanfaat dalam membangun karakter anak.
“Cerita wayang itu mengajarkan sopan santun. Wayang itu juga sebagai tuntunan, bukan hanya tontonan. Supaya generasi kita tahu unggah-ungguh. Kita ini orang Jawa, kenapa lupa dengan budaya Jawa?”
Sugeng prihatin dengan Kementerian Pendidikan Nasional yang tidak memperhatikan materi budaya nasional sebagai kurikulum pendidikan. Kesenian daerah, sedikit sekali disiarkan melalui televisi nasional.
“Anak-anak cenderung melihat sinetron, kartun. Kenapa tidak dikenalkan tokoh Abimanyu. Bagaimana lahirnya Wisanggeni. Itu kan Jawa ya. Bukan karena ambisi saya sebagai pecinta wayang, tapi sangat baik kalau anak mengenal karakter wayang,” ujar Sugeng.
Hal itu juga yang memotivasi Sugeng membuat wayang berbahan karton. Dia berharap, orang tua mampu membelikan wayang untuk anak, sehingga nilai-nilai positif dalam cerita wayang dapat tersebar luas.
“Walaupun hanya guru SD, saya punya pengharapan supaya orang-orang mengenal wayang dan tahu siapa diri kita ini.”