Banyumas, Gatra.com - Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas menerbitkan buku mata pelajaran Bahasa Jawa berdialek Banyumas. Penggunaan buku ini akan berlaku pada Tahun Ajaran 2019/2020 untuk mata pelajaran muatan lokal wajib Bahasa Jawa.
Kepala Dinas Pendidikan Banyumas, Irawati, mengatakan, pihaknya telah menerbitkan buku muatan lokal Bahasa Banyumasan yang ditulis oleh guru bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas untuk tingkat SD dan SMP. Oleh karena itu, dia meminta izin Bupati Banyumas, Achmad Husein, saat beraudiensi bersama pengawas, guru dan penulis bahasa Jawa SD dan SMP, Jumat (21/6) petang.
"Rencananya akan diberlakukan pada tahun ajaran baru," ujarnya, Sabtu (22/6).
Buku tersebut disusun oleh tim mata pelajaran bahasa Jawa yang dipimpin Ani Widowati. Buku ini akan menjadi pedoman dalam pembelajaran bahasa daerah.
Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 3 Kedungbanteng, Agus Setiadi, meminta agar bahasa banyumasan menjadi muatan lokal wajib. Selain itu, para guru bahasa Jawa juga harus mendapat kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan, baik lewat seminar maupun pelatihan untuk menyamakan persepsi.
"Seandainya saya berbicara dengan Pak Bupati menggunakan bahasa banyumasan, pasti ada yang mengatakan tidak sopan, karena bahasanya yang lebih banyak tidak menggunakan krama inggil. Persepsi itu penting, karena bahasa dialek Banyumas itu menganggap semua sama, tidak ada strata," katanya.
Menurut dia, bahasa banyumasan itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebab, hanya terdapat 150 kata kerja yang memiliki strata. Dia pun meminta bahasa banyumasan kembali dipakai oleh pegawai negeri sipil, guru, siswa, dan masyarakat.
Penyair Banyumas sekaligus guru, Wanto Tirta, mengaku senang akhirnya buku mata pelajaran Bahasa Banyumas tersebut diterbitkan. Sebab, selama ini, sekolah hanya mengajarkan bahasa Jawa yang berakar dari Surakarta ataupun Yogyakarta. "Saya mendukung pemakaian bahasa banyumasan setiap hari. Jangan sampai dialek ini punah," ujarnya.
Sementara itu, Bupati Banyumas, Achmad Husein mengingatkan aturan untuk menggunakan dialek Banyumas setiap Kamis kepada seluruh aparatur sipil negara (ASN). Aturan tersebut berlaku sejak 2014 lalu.
"Sepertinya harus ada paksaan untuk menggunakan bahasa banyumasan. Setiap kunjungan ke desa, kalau yang di desa masih cukup bangus. Sekitar 8 anak dari 10 anak, kalau ditanya dengan bahasa Jawa, menjawab dengan bahasa Jawa, tetapi kalau di kota hampir sama sekali tidak ada yang menjawab dengan bahasa Jawa dialek Banyumas," ujarnya.