Labuhan Batu, Gatra.com - Soenarno Gunotanoyo masih setia duduk di balik kelir, layar yang terbuat dari kain putih. Lelaki itu masih menyimpan segudang cerita pewayangan. Sejumlah tokoh – tokoh dalam wayang pun masi sangat melekat dalam tutur ceritanya.
Soenarno Gunotanoyo yang akrab disapa Mas Soenarno merupakan salah satu dalang yang tergabung dalam sanggar seni Sedya Laras. Sanggar wayang kulit yang berada di di Desa Sidorukun, Kecamatan Pangkatan Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Tradisi kesenian Jawa ini sudah merupakan bagian dari tradisi di Sumut. Khususnya di Labuhan Batu. Karena di Labuhan Batu banyak dihuni penduduk yang berdarah Jawa. Di sanggar Sedya Laras kita dapat melihat para pejuang dan pelestari budaya pewayangan di Labuhan Batu.
Baca Juga: Dewan Kesenian Sumut Siapkan Pagelaran Seni Lintas Genre
Mereka terus berjuang untuk tetap eksis, sekalipun banyak kesenian modren yang membuat mereka mulai terpinggirkan. Namun mereka tetap setia dengan tradisi kesenian itu. Karena lewat kesenian wayang kulit, mereka dapat mengajarkan filosofi hidup dan ajaran kebaikan dalam hidup.
Soenarno sendiri merupakan pemimpin sanggar Sedya Laras. Dia merupakan keturunan ketiga dari trah keluarga sanggar itu. Selain menjadi pimpinan sanggar, dia sekaligus sebagai Dalang.
Soenarno merupakan salah satu dalang yang masih muda. Diusia yang masih 30 tahun dia menjadi generasi penerus dari pewayangan di Labuhan Batu. Dia menjadi salah satu tokoh yang melanjutkan tradisi leluhur.
Baca Juga: Festival Seni Budaya Sumut 2019 Digelar, Apresiasi Masyarakat Masih Minim
Soenarno tetap teguh dan tidak tergoda untuk beralih pada kesenian lainnya. Baginya, wayang kulit adalah bagian dari memuliakan leluhur. Wayang tidak sekedar menjadi tontonan, melainkan tuntunan budaya yang telah diwariskan oleh leluhurnya.
Sekalipun tidak banyak sekarang ini yang mengundang atau menggelar kesenian wayang kulit untuk hajatan-hajatan tertentu, namun sanggar ini masih tetap terus bertahan.
Sebab sanggar ini tidak hanya berorientasi kepada seni pertunjukan semata. Namun, kepada khalayak yang memiliki kegemaran seni wayang kulit, khususnya mendalang dan karawitan.
Baca Juga: Budaya Berpantun di Sumut Terancam Punah
Soenarno menuturkan bahwa dulu banyak warga khususnya anak-anak yang belajar karawitan dan mendalang di sanggar miliknya. Soenarno dan keluarga besar sanggar sangat senang mengajari mereka.
Semua pengajaran diberikan secara gratis. Namun, semangat mereka untuk belajar lambat laun memudar diterpa gelombang modernisasi zaman. Kini tidak ada lagi warga maupun anak-anak yang mau belajar.
“Bagi saya, sanggar ini sangat potensial menjadi sumber daya budaya bagi desa dan juga daerah. Sanggar ini bisa menjadi potensi wisata dan juga pusat pendidikan budaya bila dikemas dengan baik,” jelasnya.
Baca Juga: Seniman Melayu Langkat Dorong Revitalisasi Seni “Dedeng”
Pemerintah daerah sangat dimungkinkan untuk membantu mengemas dan mempromosikan seni pertunjukan wayang kulit tersebut. Apalagi di era media sosial saat ini, promosi bukan lagi menjadi sesuatu yang sulit.
Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Forum Masyarakat Literasi Indonesia (Formalindo) Sumut, Agus Marwan. Menurut Agus Marwan, sanggar tersebut dapat sebagai sumber belajar dan juga pusat pembelajaran.
Di sanggar ini para peserta didik bisa belajar kesenian dan budaya Jawa secara kontekstual. Anak-anak bisa melihat langsung dan merasakan sensasi memainkan wayang kulit, gendang, bonang, pelo, gong, dan berbagai alat musik lainnya yang ada di sanggar.
Baca Juga: Garin Nugroho Kritik Kota Medan Minus Ruang Seni
Saatnya pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten, perusahaan melalui program corporate social responsibility (CSR) nya, serta pecinta budaya harus melirik potensi tersebut.