Mataram, Gatra.com- Kemacetan menjadi salah satu masalah utama di bidang transportasi. Menurut Calon Wali Kota Mataram, H Rohman Farly, sistem transportasi menjadi bagian vital bagi penataan kota. Bukan hanya di Mataram, tetapi juga di seluruh kota besar di Indonesia. Bahkan persoalan ini terjadi di luar negeri.
Berdasarkan data pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di NTB, tingkat kemacetan lalu lintas di Kota Mataram diprediksi semakin tinggi. Kemungkinan terjadi pada tiga hingga lima tahun ke depan. Ia menuturkan, sistem transportasi menjadi satu bagian integral dalam penataan kota. Kebijakan dan program pemangku kebijakan terkait tata kota perlu mengakomodir isu manajemen sistem transportasi.
Dalam catatan Direktorat Lalu Lintas Polda NTB, setidaknya setiap bulan rata-rata 1.800 unit sepeda motor baru dan 200 unit mobil, masuk dan beroperasi di NTB. Sebagian besar di Kota Mataram.
“Jika sistem manajemen transportasi tidak dibenahi, dikhawatirkan akan terganggu kemacetan. Kondisi jalanan macet. Bahkan, saat ini sudah menjadi pemandangan lumrah yang setiap saat bisa dilihat di sejumlah ruas jalan di Kota Mataram. Terutama di saat jam masuk pulang sekolah, dan menjelang pulang perkantoran,” kata Rohman, di Mataram, Minggu (8/9).
Menurut Sekda Lombok Timur ini, perlu kebijakan pembenahan sistem. Ia berujar, pengaturan traffic dan memaksimalkan pelayanan transportasi publik dapat menjadi solusi.
”Sistem transportasi harus disusun dengan cermat. Melibatkan seluruh stakeholders terkait, seperti Dinas Perhubungan, Kepolisian. Dalam hal ini Satuan Lalu Lintas, bahkan Dinas Pendidikan. [Ini] untuk mengubah mindset dan perilaku [pelanggaran lalu lintas] sejak dini,” ujarnya.
Ia mengatakan, mengubah persepsi dan kesadaran masyarakat sangat penting karena akses jalan raya diperuntukkan bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, masyarakat harus tertib berkendara dan parkir kendaraan secara benar.
Rohman mencontohkan, Mataram bisa meniru Kota Manado, Sulawesi Utara. Di Kota Manado, masyarakat terbiasa menggunakan transportasi publik seperti mikrolet atau bemo.
Hal ini membantu mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan risiko kemacetan. Langkah pertama yang perlu dilakukan, Pemerintah Mataram mulai bisa membenahi sarana transportasi publik. Bemo, yang selama ini terkesan terabaikan, kumuh, dan hanya menjadi sarana transportasi kelas dua, perlu diberdayakan.
"Harus dicari sebabnya kenapa masyarakat kita enggan naik bemo di Mataram. Kemudian dicari solusi. Saya pikir semua bisa dilakukan meski bertahap," katanya.
Rute lintasan bemo di Mataram, tidak maksimal dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini membuat masyarakat yang hendak bepergian tidak bisa langsung sampai ke tempat tujuan, kecuali di beberapa jalur utama.
Transportasi alternatif seperti ojek dan taksi, akhirnya menjadi pilihan. Akhirnya, lebih banyak lagi masyarakat yang akhirnya memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Rohman menilai, sistem rute bemo mulai dirumuskan kembali. Kondisi bemo sebagai sarana transportasi publik juga harus diperbarui untuk kenyamanan penumpang. "Kalau bemo ini bersih dan nyaman. Kemudian rutenya banyak pilihan, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga akan senang menggunakannya," katanya.
Dengan ini, masyarakat terutama pengemudi bemo juga akan mendapat perhatian. Sebab, mereka juga warga kota yang selama ini nampak kurang mendapat perhatian. Selain itu, program Bus Rapit Transit (BRT) yang sempat digagas Kementerian Perhubungan, juga harus dimaksimalkan.
Program bersumber dana APBN yang cukup besar ini, menurut HRF akan sangat sayang jika menjadi program yang mubazir karena tidak terlaksana maksimal. Apalagi, sejumlah halte bus BRT sudah tersedia di sejumlah lokasi di Kota Mataram.
"Memaksimalkan BRT bisa juga menjadi alternatif untuk menekan keluarnya kendaraan pribadi. Jadi untuk keperluan sekolah, kuliah atau ke kantor, masyarakat tidak harus menggunakan kendaraan pribadi karena ada sarana publik tersedia," katanya.
Pembagian atau pola zonasi juga bisa diterapkan untuk mengatur rute transportasi publik ini. Di satu sisi pelayanan publik bisa lebih baik, dan kemacetan pun bisa terurai. Pemanfaatan jalur pedistrian atau trotoar untuk pejalan kaki juga harus mulai ditingkatkan di Kota ini. Sehingga untuk tujuan bepergian yang dekat, masyarakat bisa lebih nyaman berjalan kaki ketimbang menggunakan kendaraan.
Ditekankan HRF untuk mengatasi masalah transportasi di Kota Mataram, tidak cukup hanya mengupayakan pelebaran jalan atau membuat jalan baru. Sebab, seluas apapun jalan dan seberapa banyak jalan baru dibuat, pasti tak bisa menyelesaikan masalah selama sistem dan perilaku masyarakat tidak diubah.
"Untuk pelebaran jalan pun butuh sangat banyak biaya pembebasan lahan. Ini sangat sulit, sehingga akan lebih baik merumuskan kembali sistem transportasinya dan juga mengubah mindset masyarakat kita," tuturnya .