Banyumas, Gatra.com - Setiap tahun dua desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Desa Kalisalak dan Desa Dawuhan menggelar tradisi jamasan pusaka. Uniknya, setiap kali prosesi, jumlah pusaka selalu berubah.
Prosesi di Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, dimulai Senin (11/11) pagi. Ratusan penghayat kepercayaan dan pelestari budaya hadir pada agenda budaya yang digelar setiap bulan Maulid ini. Mereka berkumpul di Museum Pusaka Kalibening untuk menyaksikan pencucian pusaka di Sumur Pesucen yang berada di komplek Makam Mbah Kalibening. Di sumur berstatus cagar budaya tersebut, 500 tosan aji dan benda pusaka lainnya di cuci.
Berbekal kemenyan, bunga hingga kain putih sebagai penutup, beberapa lelaki dan perempuan berpakaian adat Banyumas bertelanjang kaki menuju sumber mata air yang berjarak sekitar 300 meter.
Setelah pencucian selesai, beberapa benda itu dibawa kembali ke Museum Pusaka untuk dijemur dan dihitung. Sementara itu, sesepuh adat dan juru kunci menafsirkan pertanda yang muncul saat menghitung jumlah pusaka.
"Keunikan Jamasan Pusaka Kalibening adalah jumlah pusaka dan jimat yang selalu berubah. Padahal, selama setahun tempat penyimpanannya tidak pernah dibuka," kata Juru Kunci Museum Kalibening, Sururudin (51).
Menurut dia tahun ini ada beberapa catatan perubahan, misalnya 13 keris berwarangka yang berjumlah 35 buah. Padahal tahun sebelumnya hanya ada 22 buah.
Benda pusaka lain yang berkurang diantaranya mata uang, pedaringan wasiat dan berbagai macam kayu mimang. Sedangkan benda yang bertambah pada 2019 misalnya batu beraneka warna, serta pakaian anak-anak.
Bertambah dan berkurangnya benda pusaka tersebut memiliki makna. Menurut kepercayaan leluhur, perhitungan benda pusaka merupakan pertanda zaman. Contohnya, bertambahnya keris yang menjadi simbol jati diri orang Jawa.
"Keris ini kan simbol orang Jawa. Secara tidak langsung kita diingatkan untuk kembali kepada jati diri serta asal usul kita," ujarnya.
Menurut dia, hal itu hanya prediksi manusia. Perjalanan selanjutnya, diserahkan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa serta tetap berpegang teguh pada peraturan dan adat yang ada.
Tradisi serupa juga digelar di Langgar Jimat Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen. Objek wisata religi ini merupakan tempat enyimpanan peninggalan Sunan Amangkurat I, Raja Mataram yang bertahta pada tahun 1646-1677 juga digelar jamasan pusaka.
Seluruh benda yang tersimpan di dalam Langgar Jimat dikeluarkan untuk dijamas oleh para penjamas di atas altar yang berada di depan bangunan tersebut. Satu persatu benda dikeluarkan dari tempatnya yang selanjutnya untuk dijamas dan dihitung jumlahnya. Benda yang pertama kali dijamas berupa "bekong" atau alat penakar beras.
"Tahun ini, bekong nampak kering, artinya, menjadi pertanda tahun ini akan kekurangan air. Bisa jadi kemaraunya lebih panjang," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Deskart Sotyo Jatmiko.
Tahun ini, naskah daun lontar yang tersimpang di Langgar Jimat dapat terbaca. Kalimat yang tertulis menjadi semacam pertanda untuk mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Kita diingatkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Kira-kira demikian artinya," ujarnya.