Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,9-5,1%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III 2019 yakni sebesar 5,02%. Bahkan dimungkinkan lebih rendah daripada prediksi pemerintah dalam Peraturan Presiden No. 61/2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020 sebesar 5,2-5,5%.
Faisal melihat perlambatan ekonomi di Indonesia disebabkan kondisi meningkatnya ketidakpastian global akibat perang dagang dan bangkitnya paham proteksionisme dalam perekonomian global.
"Bila Trump di tahun 2020 tidak terpilih, otomatis perang dagang tidak berlanjut. Namun, bisa berlanjut lagi, jika Trump terpilih," ujarnya dalam acara CORE Economic Outlook 2020 amd Beyond di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (20/11).
Selain itu, perlambatan juga dipengaruhi melemahnya konsumsi sektor swasta yang hanya berkontribusi 57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Gejala pelemahan konsumsi sudah terlihat pada Triwulan III 2019.
Menurutnya, kebijakan pemerintah seperti penghapusan subaidi listrik golongan 900 VA (Volt Ampere); pemangkasan subsidi solar sebesar 50% dari Rp2 ribu/liter menjadi Rp1 ribu/liter; pemangkasan subsidi LPG 22% dari Rp69,60 miliar pada 2019 menjadi Rp54,44 miliar pada 2020; kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100%; serta kenaikan cukai rokok sebsar 23% per 1 Januari 2020 berpotensi menekan konsumsi swasta, khususnya rumah tangga.
"Kenaikan biaya hidup akibat sejumlah kebijakan pemerintah di atas sangat mungkin akan berdampak lebih besar terhadap [pelemahan] daya beli masyarakat," tuturnya.