Pekanbaru,Gatra.com - Ajang pilkada serentak di Provinsi Riau tahun 2020 diwarnai dengan aksi comot kader partai lain. Data yang dihimpun Gatra.com, Partai Golkar menjadi partai yang paling banyak kadernya dicomot partai lain.
Ini terlihat di pilkada Kabupaten Pelalawan, di wilayah tersebut PDI P mencomot kader Golkar, Nasaruddin untuk diduetkan dengan Zukri Mirsan (Ketua PDI P Riau). Sedangkan di pilkada Indragiri Hulu, giliran Supriati yang dirangkul Irjend Pol Wahyu Adi. Keduanya, Nasarudin dan Supriati tercatat sebagai pengurus DPD I Partai Golkar Riau.
Golkar sendiri juga mencomot kader PAN di Kabupaten Siak atas nama Sujarwo. Pencomotan tersebut membuat Sujarwo harus berhadapan dengan Ketua PAN Siak, Alfedri, pada pilkada Desember 2020. Sedangkan di Kabupaten Bengkalis, giliran PDI P yang mencomot kader PKB. Aksi comot tersebut belakangan membuat PKB terpaksa berpaling ke PDI P, mengusung Kaderismanto - Iyeth Bustami.
Kepada Gatra.com pengamat politik dari Universitas Riau, Tito Handoko, menyebut aksi comot kader partai lain merupakan pertanda adanya persoalan kaderisasi parpol.
"Aksi comot-mencomot dalam kontestasi politik Indonesia itu menggambarkan tidak mengakarnya ideologi partai dalam diri kadernya, sehingga para kader tidak memiliki beban moral ketika bertentangan dengan kebijakan partai," paparnya kepada Gatra.com, Selasa (19/8).
Pemahaman ideologis yang minim di kalangan kader, diperparah oleh sikap partai politik yang cendrung pragmatis pada event pilkada. Ini dapat dibuktikan dengan keputusan partai untuk menerima kembali kader yang sudah "lompat pagar", bila berhasil memenangkan pilkada.
Menurut Tito, membuminya sikap pragmatis di organisasi partai politik, juga disebabkan oleh aturan main pilkada yang mesti direspon oleh partai politik. Ia menilai penetapan persentase kursi minimal yang dirasa tinggi untuk ikut pilkada, turut berperan melanggengkan sikap pragmatis.
"Sebagai organisasi politik yang memburu kekuasan, batas minimal perolehan kursi untuk maju pilkada, telah menjadi halang rintang yang perlu direspon. Respon tersebut bisa melalui koalisi antar parpol dan bisa juga dengan cara membiarkan kader maju menggunakan partai lain. Jika menang, nanti dimungkinkan kembali ke partai lama. Ini yang disebut strategi double track,"imbuhnya.
Namun, Tito melanjutkan, tidak semua partai yang menerapkan strategi semacam itu. Menurutnya partai dengan penenakanan ideologi yang kuat pada kadernya, dipastikan bakal memilih cara koalisi ketimbang membiarkan kader melakukan politik dua kaki.
Terpisah, Ketua Pemenangan Pemilu, PDI Perjuangan Provinsi Riau, Syafaruddin Poti, kurang sependapat jika parpol yang mencomot kader partai lain, memiliki masalah dengan pengkaderan. Ia menilai keputusan parpol merangkul kader partai lain lebih disebabkan oleh sikap rasional parpol menghadapi kontestasi.
"Tentu ada hitunganya di setiap pilkada, bisa jadi kita punya kader mumpuni namun jumlah kursi tak memadai, atau sebaliknya jumlah kursi memadai kader kurang mumpuni. Artinya perlu koalisi antar parpol. Nah, saat menjalin koalisi, prioritas pertama tentu memenuhi jumlah kursi. Setelahnya, menakar elektabilitas,popularitas dan modal calon. Tapi itu tergantung format koalisi, kalau ramping mungkin tak banyak persoalan, kalau multi partai tentu ada obrolan tambahan. Jadi, ada pertimbangan untuk setiap langkah," tukasnya.