Jakarta, Gatra.com - Pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja (UU Ciker) masih menuai polemik. Pemerintah mengklaim bahwa UU tersebut ditujukan untuk memberi kemudahan, perlindungan, dan peningkatan investasi. Namun demikian, pemerintah menilai, masih terjadi disinformasi terhadap UU tersebut sehingga terdapat jarak dengan pemahaman publik.
Badan Intelijen Negara menyelenggarakan Forum Bakohumas secara daring dengan tema "Strategi Komunikasi Publik Pasca Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja" pada Senin (26/10).
Juru bicara BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan sinergi kehumasan dalam merespons cepat suatu isu, dan menyampaikan informasi dan data yang valid, serta melakukan literasi dan membentuk opini publik.
Tujuannya, kata Wawan, agar masyarakat mendapatkan informasi yang utuh dan benar, sehingga nantinya masyarakat dapat memahami UU Cipta Kerja dan tidak ada kegaduhan di publik.
"Tidak ada pemerintah yang ingin menyesengsarakan dan membuat masyarakatnya susah. Oleh karenanya dalam situasi seperti ini pranata humas perlu melakukan market intelijen, sehingga strategi komunikasi publik disesuaikan dengan penerima pesan," ujar Wawan, Senin (26/10).
Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Widodo Muktiyo mengatakan bahwa disinformasi tentang substansi Omnibus Law menciptakan polemik di masyarakat hingga menimbulkan unjuk rasa. Karena itu, menurutnya, jajaran pemerintah harus dapat bersinergi terkait informasi publik.
"Utamanya dalam menggaungkan urgensi, manfaat, dan substansi pentingnya UU Cipta Kerja guna mendukung program dan kegiatan diseminasi informasi," ujar Widodo.
Sementara itu, pakar komunikasi publik, Effendi Gazali, mengatakan, komunikasi kepada publik harus mampu menjaga source of characteristic yang dibentuk dari source of credibility, source of attractiveness dan source of power. Dalam komunikasi publik, kata Effendi, juga mengenal hierarchy of effect, yaitu knowledge, practice, intention, approval, advocacy, di mana pesan atau input komunikasi akan membantu target pada langkah berikutnya.
"Etika komunikasi publik akan dapat menghindari disinformasi, sehingga mengurangi ketidakpastian, menunjukkan arah, melibatkan publik, membuat makna bersama, dan memberi keteladanan," ujar Effendi pada kesempatan yang sama.
Menurut Effendi, informasi saat ini tidak lepas dari algoritma yang menjadi bagian penting dan sedang berkembang. Untuk itu penting bagi negara untuk menghindari perception gap. Di sisi lain, hal tersebut juga diperlukan warga negara untuk memahami agenda pemerintah. "Harus ada hubungan kepublikan antara pemerintah dan masyarakat agar ada interaksi yang positif," pungkasnya.