Semarang, Gatra.com - Para hakim dalam memutus perkara janganlah hanya terpaku pada aturan normatifnya saja, tetapi haruslah berpikir secara holistik dan progresif dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan yang sejati.
Pesan ini disampaikan Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof.Dr Muhammad Syarifuddin SH, MH pada pidato pengukuhan sebagai guru besar tidak tetap Fakultas Hukum Undip Semarang, Kamis (11/2).
Upacara pengukuhan dipimpin Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Yos Johan Utama di Gedung Prof. Soedarto Kampus Undip Tembalang.
“Kepada sejawat para hakim di seluruh Indonesia, saya berpesan junjunglah tinggi hak asasi manusia. Ketahuilah bahwa hukum itu adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum,” katanya.
Lebih lanjut Syarifuddin dalam pidato berjudul “Pembaharuan Sistim Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heuristika Hukum” menyatakan, pengalamannnya yang panjang sebagai hakim membentuk pemahaman bahwa penegakan hukum sejatinya adalah seni yang memerlukan perlakuan khusus dari aktor pelaksananya, yaitu hakim.
Kreasi dalam penegakan hukum menuntut padupadan yang selaras dan serasi dalam setiap elemen di dalamnya. Penegakan hukum adalah proses memilih dan memilah, lalu menentukan bentuk akhir dan isinya.
“Inilah heuristika dalam hukum. Ketika seni menjadi perangkat kerja, khususnya bagi hakim, dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hukum maka Insya Allah akan memberikan keadilan yang bijak,” ujar pria kelahiran Baturaja, 17 Oktober 1954 itu.
Menurutnya, penegakan hukum harus dapat menarasikan keadilan secara paripurna. Di dalamnya tercakup rasionalisasi, kesinambungan kerangka pikir, dan kehendak mewujudkan keadilan substantif.
Hakim bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam menarasikan keadilan tersebut melalui putusannya. Hakim merupakan satu-satunya jabatan yang diberi kewenangan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan Tuhan, sehingga hakim dipandang sebagai jabatan yang mulia di antara jabatan-jabatan publik yang lain.
“Letak kemuliaan itu sesungguhnya bukan pada kekuasaannya yang besar, melainkan pada sikap kearifan dan kebijaksanaan hakim secara individu,” ujar Syarifuddin.
Dia menambahkan sudah 36 tahun menjalani profesi sebagai hakim. Ribuan perkara dengan beragam jenis dan karakteristik pernah dtangani, mulai dari perkara yang sederhana, hingga perkara yang mengandung permasalahan hukum yang rumit.
Berdasarkan perjalanan panjang tersebut, Syarifuffin menyimpulkan, bahwa persoalan mendasar dari penegakan hukum itu terletak pada dua hal yakni pertama, terkait dengan keadilan substantif, satu di antaranya adalah rentang pemidanaan yang sangat lebar (disparitas) pada perkara-perkara yang memiliki isu hukum sama.
“Kedua, terkait dengan keadilan prosedural, yaitu adanya hambatan untuk memperoleh akses keadilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan,” katanya.