Home Politik PERLUDEM: Partai Politik Biang Masalah Demokrasi

PERLUDEM: Partai Politik Biang Masalah Demokrasi

Depok, Gatra.com – Indonesia tengah mengalami kemunduran demokrasi. Dalam rilis laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2020 jatuh di titik terendah dalam 14 tahun terakhir. Dengan nilai indeks demokrasi 6.30, posisi Indonesia berada di bawah Flipina dan Timor Leste.

Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, hulu masalah demokrasi yang dialami Indonesia ada pada probelmatika partai politik.

Dalam Forum Diskusi Salemba ke-50 yang digelar oleh Ikatan Alumni UI (IlunI UI) pada Rabu (24/03), Titi menjelaskan bahwa hampir semua jabatan publik di Indonesia, baik yang merupakan jabatan elected official maupun non-elected official dapat diakses oleh partai politik.

“Mau jadi anggota Ombudsman harus lewat partai politik melalui wakil-wakilnya di DPR, mau jadi hakim MK, MA atau KY, apapun itu harus melalui partai politik,” ujarnya.

Namun demikian menururt Titi, meski partai politik semakin dominan dan determinan dalam demokrasi di Indonesia, pada kenyataannya anggota partai tidaklah berdaulat. Inilah problematika pertama.

"Anggota partai hanya diingat saat menjelang pemilu karena harus melakukan verifikasi faktual dan saat hari pemungutan suara, anggota diminta untuk datang ke TPS, lebih dari itu, anggota partai belum memegang kedaulatan di partai politik," kata Titi.

Kedua, rekrutmen di internal partai yang tidak demokratis (makin tertutup dan elitis), serta makin sentralistik karena DPP mengendalikan semua nominasi pencalonan bahkan sampai ke tingkat kabupaten/kota.

"Contoh dalam pencalonan Pilkada tidak dapat dilakukan bila tidak mendapatkan rekomendasi DPP. Dari sini nampak bahwa tata kelola partai politik kita tersentralisasi," ucapnya.

Ketiga, efek dari rekrutmen yang elitis dan lemahnya kaderisasi membuat semakin suburnya politik dinasti dan calon tunggal di Pilkada.

“Angka terkait hal ini terus meningkat dan menjadi indikator kemunduran berdemokrasi. Sebab, ia hadir secara tidak alamiah di tengah dengan sistem multipartai yang kita anut dan banyaknya jumlah populasi kita,” ujarnya.

Tercatat pada Pilkada tahun 2015 ada 3 calon tunggal, 2017 ada 9, pada 2018 ada 16, dan terakhir di Pilkada 2020 ada 25. Titi menyebut fenomena ini menandakan semakin menyempitnya hak untuk dipilih.

Keempat, akuntabilitas dana politik berupa dana partai dan dana kampanye yang buruk. Salah satu ciri kemunduran berdemokrasi adalah strategic manipulation of election dan itu ditandai oleh tidak akuntabelnya dana-dana politik.

Terakhir, disfungsi parpol dalam melakukan pendidikan politik. Partai politik di Indonesia dapat dikatakan gagal memberikan pendidikan kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari masih banyak masyarakat yang permisif terhadap praktik politik uang yang membuat biaya politik semakin tinggi dan akhirnya menyuburkan tindakan korupsi di negeri ini.

517