Home Kesehatan Jemput Bola Cegah Tragedi Kedua

Jemput Bola Cegah Tragedi Kedua

Yogyakarta, Gatra.com -  Akses warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ke layanan penanganan tuberculosis (TB) masih menemui sejumlah kendala. Upaya jemput bola pun dirintis demi mewujudkan bebas TB untuk semua warga dan tak ada tragedi kedua usai pandemi Corona.

Sekitar lima tahun silam, Budi Sanjaya, kini 46 tahun, diserang batuk. Namun beda dari batuk biasa, batuk itu kerap, tak kunjung berhenti, dan disertai demam. “Kondisi tubuh terus menurun,” kata warga Gondomanan, Kota Yogyakarta, ini.

Budi pun memeriksakan diri di puskesmas. Hasilnya, ia dinyatakan mengidap TB dan harus mengikuti pengobatan selama enam bulan. Menurutnya, saat itu ia harus mengeluarkan biaya terapi, seperti rontgen dan cek kesehatan di laboratorium.

“Padahal waktu itu (penghasilan) cukup untuk makan dan sekolah anak-anak saja. Enggak bisa untuk alokasi lain karena hanya (sebesar) UMP,” kata bapak dua anak yang menjadi pekerja kontrak di suatu lembaga ini.

Sebagai catatan, upah minimum provinsi DIY Rp1,7 juta—UMP terendah di Indonesia. Kondisi kesehatan Budi pun berpengaruh besar pada kehidupanya, terutama dalam produktivitas kerja.

Setelah tak optimal bekerja, semula ia mendapat cuti lima bulan utuk menjalani terapi. Dengan status itu, ia hanya menerima besaran gaji satu bulan. “Tapi akhirnya jadi pengacara, pengangguran banyak acara,” seloroh Budi.

Selepas berhenti kerja, di tengah kondisi mengidap TB, Budi melamar ke sejumlah tempat kerja, termasuk ke para kenalannya. Namun upaya itu tak kunjung membuahkan hasil.

Ia menduga kondisi sakitnya turut mempengaruhi penilaian di calon tempatnya bekerja. Untuk menopang ekonomi, Budi mengandalkan istrinya yang mengajar di suatu yayasan pendidikan swasta. “Hidup (seperti) Senin-Kamis, harus banyak prihatin,” ujarnya.

Sayangnya, pengobatan TB Budi kala itu tak tuntas. Menurut dia, efek samping terapi membuatnya diserang vertigo hingga menghambat aktivitas. Namun saat melaporkan kondisi itu, Budi merasa respons petugas tak memuaskan. “Cuma dibilang tidak apa-apa. Padahal saya tidak kuat,” ujarnya.

Akibatnya, setelah beberapa tahun mereda, Budi kembali diserang batuk hebat tahun lalu. “Setelah periksa, saya positif TBC lagi,” katanya.

Budi pun kembali harus menjalani terapi. Namun kali ini durasinya lebih panjang, yakni selama delapan bulan. Ia harus disuntik obat dua hari sekali selama lima bulan, kemudian sisanya satu suntikan per hari. Bukan hanya dirinya, istri dan dua anak Budi juga mengonsumsi obat pencegahan TB.

Kali ini Budi tak mengeluarkan biaya untuk pengobatan keduanya. Namun ia sempat harus mengeluarkan biaya lebih dahulu untuk pemeriksaan tambahan di lab. “Tapi kemudian diganti pembayarannya dari Zero TB,” ujarnya.

Yang jelas, kali ini, Budi berkomitmen merampungkan masa terapi yang tinggal sebulan. Ia pun sudah bisa bekerja sebagai sopir. “Pengobatan saya mau habis, tapi hasil tes Maret lalu sudah negatif dan tidak ada gejala,” kata Budi penuh syukur, kepada Gatra.com.

Pengalaman lain dipaparkan Noviardi Isma Nugroho, 39 tahun. Penyakit TB bukan hanya mengganggu kesehatan, melainkan juga merenggut penghidupan. Ia mesti berhenti dari berjualan ikan hias di Alun-alun Kidul Yogyakarta.

“Sehari biasanya dapat Rp50 ribu – Rp100 ribu, tapi sekarang enggak boleh jualan dulu karena takut menulari,” kata bapak dua anak, warga Gondomanan, Kota Yogyakarta, ini, Selasa (27/4). Untuk pemasukan keluarga, istri Noviardi harus bekerja sebagai petugas kebersihan di suatu mal.

Noviardi diserang batuk tanpa putus akhir tahun lalu. Selama empat bulan, ia minum obat batuk tapi tak kunjung sembuh. “Saya kira kena Covid-19. Berat badan juga turun terus,” katanya.

Setelah periksa, Noviardi divonis mengidap TB. Ia harus minum obat selama enam bulan bersama salah satu anaknya, usia 15 bulan, untuk pencegahan TB. Istri, anaknya yang telah SMA, dan kedua mertua Noviardi telah menjalani investigasi kontak TB dan hasilnya negatif.

Pengobatan Noviardi telah berjalan satu bulan ini. Ia terus dipantau petugas dan rutin memeriksakan diri ke puskesmas. Semua layanan itu masuk skema BPJS yang diikuti Noviardi sehingga gratis. “Saya punya motivasi untuk sembuh jadi mengikuti semua,” ujarnya.

Budi dan Noviardi hanya dua dari 781 kasus TB yang tercatat di Kota Yogyakarta tahun lalu. Jumlah ini menyumbang temuan 2.880 kasus di provinsi DIY di periode yang sama. Data Dinas Kesehatan DIY menunjukkan pada 2018-2019 kasus TB meningkat, dari 3.803 menjadi 4.026 kasus.

TB disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan menular melalui udara saat penderita batuk, bersin, dan berbicara. Gejala penyakit ini batuk berdahak lebih dari dua minggu, bahkan bisa disertai darah, sesak napas, demam, lesu, hingga berat badan turun. Dengan pengobatan teratur, TB dapat disembuhkan.

Kendati keberhasilan pengobatannya tinggi, yakni hingga 86 persen, TB masih mengakibatkan kematian di DIY. Angkanya cenderung meningkat yakni dari 5 persen pada 2018, sempat 7,1 persen di 2019, dan menjadi 6,6 persen di 2020.

Tahun lalu, Kota Yogyakarta menyumbang persentase kematian tertinggi penderita TB, yakni 8,4 persen. Selama tiga tahun ini, total kasus kematian di DIY mencapai 275 orang dengan jumlah kematian tertinggi di Kota Yogyakarta yakni 92 orang.

Kendati penanganan TBC tersedia di puskesmas, pengalaman Budi Sanjaya menunjukkan kendala akses bagi warga, seperti soal biaya dan layanan pemantauan terapi.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DIY Berty Murtiningsih menampik akses layanan TBC kurang memadai. “Akses relatif lancar karena semua fasilitas kesehatan, baik puskesmas dan RS, sudah mampu melayani pasien TB sesuai pedoman Kemenkes dan telah terlatih,” tuturnya.

Namun ia mengakui saat ini sumber daya kesehatan terfokus ke Covid-19. “Sebelum pandemi kegiatan penemuan aktif dan skrining massal di masyarakat bisa berjalan sehingga temuan kasus TB lebih banyak,” ujar Berty yang juga Juru Bicara Penanganan Covid-19 Pemda DIY.

Menurut dia, selama pandemi kunjungan ke masyarakat untuk penanganan TBC berkurang, serta kunjungan masyarakat ke fasilitas kesehatan juga menurun. Akibatnya, penemuan kasus TB juga berkurang.

Berty menjelaskan, penanganan TBC ke depan akan mengoptimalkan tim investigasi kontak di puskesmas, termasuk dengan memadukan pelacakan Covid-19.

“Setiap 1 kasus TB akan diperiksa 20 kontak serumah dan kontak eratnya. Sinkronisasi dengan (lacak) Covid-19 sebenarnya sudah dilakukan. Hanya akan lebih dioptimalkan pelaksanaannya,” ujarnya.

Upaya puskesmas dan Dinas Kesehatan DIY itu dibantu melalui pencarian aktif dan skrining massal dalam program Zero TB Yogyakarta. Inisiatif ini datang dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM dengan dukungan Burnet Institute di Melbourne, Australia, yang terlibat dalam program global eliminasi TB.

Sejak awal tahun lalu, meski sempat setop tiga bulan karena pandemi, tim Zero TB turun ke kantong-kantong TB untuk menemukan penderita dan memantau terapi mereka, seperti terapi yang kini dijalani Budi dan Noviardi.

Tahun ini, mulai awal April, tim menggelar pemeriksaan TB cuma-cuma dan berpindah di wilayah Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta. Tim menyiapkan tenda dan tempat periksa sementara di pusat-pusat permukiman pada hari Selasa – Sabtu jam 08.00-14.00 WIB.

Selain cek kesehatan umum dan periksa dahak, layanan Zero TB menyediakan pemeriksaan rontgen dada di sebuah minibus. Fasilitas ini umumnya tak tersedia di puskesmas, melainkan harus di rumah sakit, sehingga kadang terkendala waktu, jarak, bahkan biaya.

Pemeriksaan lewat rontgen juga memungkingkan temuan TB subklinis, yakni ketika cek dahak menunjukkan masih negatif.

“Sesuai saran WHO, tempat dengan prevalensi TB tinggi seperti Indonesia mestinya menggunakan rontgen jika mampu,” ujar Dokter Felicia, anggota tim Zero TB, saat menggelar pemeriksaan di Kampung Lempuyangan, Kota Yogyakarta.

Menurutnya, sekitar 100 orang dapat diperiksa dalam satu hari. Pemeriksaan akan diprioritaskan untuk warga yang tinggal di dekat pasien TB.

Selain kantong TB di permukiman padat di Kota Yogyakarta, tim Zero TB juga beroperasi di Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang, Kulonprogo. Di kabupaten ini, selama tiga tahun terakhir ditemukan 808 kasus TBC dengan 24 kematian.

Tim Zero TB pun menjangkau ke daerah yang jauh dari layanan kesehatan. Sejumlah lokasi yang didatangi itu berada di kawasan perbukitan, bahkan menjangkau warga marginal di panti asuhan.

Pencarian aktif lewat skrining massal oleh Zero TB menerapkan prinsip mencari, mengobati, dan mencegah tuberculosis. Saat ditemukan pasien positif, mereka didata dan ditangani puskesmas dengan pantauan tim Zero TB.

Untuk pencegahan, Zero TB juga selangkah lebih maju. Jika program pemerintah hanya memberi obat pencegahan TBC untuk balita dan orang dengan gangguan imunitas, tim akan memberikannya pada semua kontak yang tinggal serumah sesuai ketentuan WHO.

“Prinsipnya kami membantu puskesmas, mengisi kesenjangan akses. Investigasi kontak kami juga jalan dari rumah ke rumah,” kata Felicia.

Project Leader Zero TB Yogyakarta Rina Triasih menjelaskan penanganan TBC di tingkat dunia sebenarnya sudah bagus, tapi hingga kini TB tak hilang juga.

“Berarti ada sesuatu yang belum pas. Jadi perlu pendekatan inovatif dengan menemukan kasus aktif. Selama ini menunggu pasien di RS, kini mendatangi masyarakat dengan bus rontgen,” ujarnya.

Ia menyatakan minimnya akses warga mempengaruhi keberhasilan pengananan TBC. Akses itu berupa jarak dan biaya terhadap layanan, stigma, hingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat. “Kegiatan Zero TB bisa mengatasi masalah keterbatasan akses, terutama karena jarak,” katanya.

Keterbatasan akses membahayakan bagi pasien bergejala TB. “Saat tidak diobati mereka jadi sumber penularan. Paling penting kesadaran dan pengetahuan masyarakat. Pentingnya mengetahui soal gejala dan pengobatan TB karena ini masih kurang,” tuturnya.

Menurutnya, sekitar 40 persen kasus TB missing atau tak tercatat. Hal ini karena kasus belum dilaporkan atau penderita belum berobat. Di lapangan, ia mencontohkan, ada warga yang tidak mau ditracing.

“Kalau diambil pahitnya, ya karena belum berobat. Akses kurang atau tidak tahu. Ada stigma masyarakat, takut ketahuan, batuk panas tidak lapor, daripada dicek dan positif. Stigma itu sangat kuat,” katanya.

Padahal, papar Rina, upaya investigasi kontak penderita TB di Indonesia sudah lama digalakkan yakni sejak 2006. Saat itu, panduan pelacakan kontak pasien TBC, termasuk pada anak, telah terbit.

“Namun sampai 2-3 tahun ini pelaksanaan belum bagus. Investigasi kontak TB ini penting dalam melacak, memeriksa, dann mengobati,” kata dokter anak di RSUP Dr. Sardjito ini.

Kondisi itu lantaran tim lacak dari puskesmas terbatas, apalagi saat pandemi. Dengan fokus ke Covid-19 saat ini, Rina khawatir TBC dapat menjadi tragedi kesehatan berikutnya.

“Covid-19 tunjukkan urgennya pelacakan. Sudah lama ada, tapi belum maksimal. Efek pandemi penurunan jumlah kasus 30-40 persen. Jangan sampai ada tragedi kedua setelah Covid, TB merajalela,” katanya.

Rina menargetkan program ini diperluas di semua kecamatan di Kota Yogyakarta dan Kulonprogo. “Dua wilayah itu dipilih dinas mewakili area padat dan remote area. Kalau ada dana diperluas di DIY. Kami dekatkan pelayanan ke semua penduduk di daerah kantong TB yang berisiko tinggi,” tuturnya.

Menurut Rina, layanan penanganan TBC secara jemput bola ini membuka akses dan mewujudkan penanganan kesehatan untuk semua orang. “Kami mendekatkan akses ke warga. Bukan hanya ke warga miskin, tapi juga yang (terkendala) karena kesempatan dan waktu,” kata Rina.

271