Home Milenial Memilukan, Minim Generasi Wayang Sasak Terancam Punah

Memilukan, Minim Generasi Wayang Sasak Terancam Punah

Lombok Barat - Pria paruh baya menggunakan kemeja putih itu, menggenggam wayang kulit putihan. Wayang yang belum jadi dan belum dicat sesuai bentuknya.

 

Amaq Darwilis namanya. Dia adalah penatah atau pengrajin wayang kulit Sasak asal Gunung Malang, Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat.

Di balik balutan seni wayang miliknya, menyimpan masalah cukup pelik. Dia mulai krisis generasi penerus yang dapat mempertahankan budaya dari leluhur ini.

Pria dengan usia terbilang sydah senja (65 tahun) itu begitu semangat saat didatangi salah satu Lembaga Kajian Peneluti dan Kajian Sosial (NTB). Dengan semangat dia memperkenalkan wayang Sasak, Sabtu (8/5).

Dengan suara serak, Amaq Darwilis bercerita kekhawatiran akan punahnya wayang Sasak. Dia tidak memiliki generasi penerus di saat umurnya sudah cukup tua.

"Dulu bapak saya jadi penatah. Kakak saya dalang. Sekarang tersisa saya, bahkan anak saya kerja di kantoran jadi tidak bisa fokus," katanya.

Amaq Darwilis ingin sekali mengajar orang-orang untuk membuat wayang Sasak, namun generasi saat ini belum ada yang tertarik terhadap wayang Sasak.

Bahkan, bantuan dari pemerintah tidak pernah didapat. Padahal, NTB adalah daerah pariwisata, sementara wayang adalah bentuk atraksi pariwisata yang menarik bagi wisatawan. "Bantuan tidak ada. Pemerintah belum pernah datang ke sini," imbuhnya.

Tidak mudah untuk membuat  wayang kulit Sasak. Apalagi dia bekerja seorang diri. Butuh waktu seminggu hanya untuk membuat satu wayang melalui sejumlah proses. "Ada beberapa proses pembuatan, mulai dari ngencang, dijemur, direndam, dikerik," ujar Darwilis.

Ngencang adalah proses membentang kulit sapi mentah di alat pembentang yang berupa bingkai dari bambu atau kayu. Sisa daging pada kulit akan dibersihkan.

Kemudian masuk ke proses jemur agar kulit itu kering dan kuat. Proses jemur cukup lama, yaitu 15 hari agar kulit sapi semakin kuat.

Setelah dijemur, kulit akan direndam selama satu hari dalam air. Baru setelah itu memasuki proses amplas (dikerik) sehingga bulu pada kulit hilang dan bersih.

Setelah itu wayang akan dibentuk dan dipahat. Itu membutuhkan ketelitian yang serius agar wayang dapat rapi dan indah.

Amaq Darwilis menjelaskan, wayang Sasak terdiri dari bagian yaitu wayang kiri dan kanan. Wayang kiri identik dengan tokoh jahat (antagonis), sementara wayang kanan identitas dengan tokoh baik (protagonis).

Namun lebih sulit untuk membuat wayang kiri, karena tokoh antagonis pada wayang memiliki banyak corak dan warna. Berbeda dengan tokoh protagonis yang digambarkan pada wayang kanan, cukup sederhana. "Tapi kalau orang luar negeri akan membeli wayang kiri, karena lebih banyak corak dan warna," ujarnya.

Dia mengatakan, dahulunya beberapa wisatawan mancanegara ke Lombok akan membeli wayang miliknya. Para turis ini lebih tertarik dengan wayang kiri yang memiliki corak yang ramai dan aneka warna. "Wayang kiri karena banyak mahkota. Kalau wayang kanan itu biasa tidak banyak aksesoris," katanya.

Amaq Darwilis kini terancam tidak dapat membuat wayang. Selain karena tidak adanya generasi penerus yang membantu, dia juga kekurangan dana untuk membeli bahan kulit. Padahal momentum idul fitri nanti adalah waktu yang mudah menemukan kulit sapi.

Dia mengatakan, sama sekali tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, Amaq Darwilis sangat diapresiasi di luar daerah. Dia mendapatkan penghargaan Jakarta dan Bali. Tapi justru tak digubris di daerah asalnya. Dia hanya mempertahankan budaya leluhur yang menjadi harta berharga masyarakat Sasak. "Saya dapat penghargaan dari Bali dan dari Museum Wayang Jakarta. Kalau di NTB belum ada bantuan," ujarnya.

Padahal, Amaq Darwilis sejak tahun 1968 sudah menjadi penatah wayang kulit Sasak. Bahkan, dalang tersohor Lalu Nasib selalu membeli wayang miliknya.

Butuh Perhatian Pemerintah

Direktur Kajian Sosial Politik NTB (M16) Bambang Mei Finarwanto mengatakan pemerintah harus lebih serius memperhatikan para penatah yang menjadi penjaga budaya Sasak.

NTB, kata Bambang adalah daerah wisata, sehingga peran penatah wayang Sasak tidak terlepas dari bagian atraksi budaya.

Bambang merasa khawatir, jika para penatah wayang kulit Sasak telah tiada, maka salah satu budaya leluhur Sasak tersohor ini akan sirna bersama mereka. "Jangan sampai kita menyesal ketika wayang kulit Sasak akan punah seiring habisnya para penatah yang menjadi penjaga kebudayaan Sasak ini," katanya.

Keping demi keping kebudayaan Sasak harus direkat dengan benang penyekat. Benang itu adalah bantuan pemerintah yang terus membuat wayang Sasak bereksistensi.

"Maka bantuan pemerintah yang dapat menyelamatkan wayang Sasak dari ancaman kepunahan. Mulai berikan permodalan bagi para penatah dan mulai memperkenalkan wayang Sasak pada generasi," imbuhnya.

Ketua DPD Sahabat Pariwisata Nusantara (SAPANA) NTB, Lalu Puguh Mulawarman, mengatakan keprihatinannya terhadap kesenian tradisional yang mulai tidak mendapatkan tempat di hati generasi.

"Kami merasa prihatin karena kesenian tradisional terkesan semakin dijauhi oleh kalangan anak muda. Cobalah kita liat kondisi Amaq Darwilis yang merasa risau karena tidak punya generasi penerus," imbuhnya.

Generasi masa kini katanya, telah larut terhadap perkembangan teknologi dan gawai, sehingga "para penjaga budaya" mulai sirna seiring zaman.

"Mari kita liat saja kenyataan bahwa anak anak lebih mengenal tokoh kartun asing ketimbang tokoh dalam budaya sendiri, Bahkan, ada beberapa anak yang tidak mengenal sama sekali kesenian tradisional. Ini kemungkinan terjadi akibat kurangnya informasi dan pengajaran terkait kesenian tradisional khususnya pewayangan," ujarnya.

Dia meminta semua stakeholder berperan untuk menyelamatkan wayang Sasak dari ancaman kepunahan akibat tidak adanya generasi penerus.

"Untuk itu, kami mengharapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang ada di Pulau Lombok , pegiat pariwisata, budayawan, akademisi besatu padu dan semua unsur terkait untuk bersatu padu meningkatkan dan mengembangkan inovasi guna memperkenalkan kesenian wayang Sasak kepada kalangan milenial sehingga rasa cinta dan bangga bisa tumbuh di hati mereka," imbaunya.

Dia berharap, pembuat kebijakan  agar kesenian wayang ini dapat diperkenalkan secara formal melalui sekolah sekolah dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler, sehingga kesenian wayang Sasak khususnya yang terkait dengan proses produksi wayang Sasak ini tidak punah.

"Kita sangat khawatir apabila tidak ada upaya nyata pemerintah dan masyarakat maka wayang sasak menjadi hilang, terlupakan dan tergerus zaman," katanya.

"Padahal, kesenian dan alat-alat tradisional mempunyai nilai-nilai filosofis yang syarat akan makna dan pendidikan bagi pemuda dan juga masyarakat secara luas," ucapnya.

669