Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, menyebut faktor yang paling dominan dalam motif memlih partai politik (parpol) adalah faktor ketokohan. Sesuai hasil survei teranyar, angkanya mencapai 22,9%.
“Angkanya enggak main-main, ada sekitar 22,9% masyarakat yang menjadikan preferensi faktor ketokohan sebagai pilihan untuk menentukan apakah partai politik itu akan dipilih atau tidak,” ungkapnya saat menyampaikan laporan hasil survei nasional Parameter Politik Indonesia secara virtual pada Sabtu (5/6).
“Makanya, kemudian tidak mengherankan kalau di partai politik kita, banyak tokoh-tokoh kunci yang dijadikan sebagai sandaran sebenarnya bagi partai politik untuk melakukan peningkatan elektabilitas,” kata Adi.
Kategori dari faktor ketokohan, seperti meliputi persepsi tokohnya bagus, merakyat dan sederhana, pimpinannya tegas dan disiplin, serta yang lainnya.
Faktor yang kedua, lanjut Adi, adalah citra dan emosional. Kategori dari faktor ini sederhana, misalnya tentang persepsi soal banyaknya partai yang dipilih, peduli dan dermawan, sesuai dengan hati nurani, jujur dan dapat dipercaya, nasionalis, toleran dan terbuka, konsisten oposisi atau idealis, dan lain-lain.
Ia menjelaskan bahwasanya hal itu merupakan preferensi soal citra yang kemudian terhembus melalui rekaman-rekaman media sosial, melalui pembicaraan-pembicaraan yang viral di berbagai media dan kanal-kanal politik demokrasi lainnya. Persoalan faktor citra dan emosional ini juga cukup signifikan, sekitar 18,2%.
Kemudian, kata Adi, disusul oleh faktor keluarga ataupun lingkungan lain yang mereka sebut sebagai party id, sebesar 14,2%. Kategori faktor ini, yaitu ada yang menyebut sudah dari dahulu memilih salah satu parpol, pilihan keluarga, karena kader atau simpatisan, hanya ikut pilihan teman atau tetangga, ikut arahan organisasi dan atau ikut tokoh masyarakat.
Lebih lanjut ia menyampaikan, ada faktor sosiologis. Faktor ini mereka menyebutnya sebagai faktor yang cukup melekat pada diri pemilih. Kategorinya seperti dari cara melihat partai politik tertentu, misalnya tampak religius, dekat dengan ormas tertentu terutama ormas keagamaan dan atau tokohnya satu suku atau putra daerah. Dalam studi perilaku pemilih, itu disebut sebagai preferensi sosiologis. Tetapi sekali lagi, angkanya tidak terlampau signifikan, yaitu 9,1%.
Terakhir, ujar Adi, ialah faktor rasional, yang ia nilai agak sedikit ironis. Kategorinya yaitu ada persepsi soal kinerja dan programnya bagus, menyejahteraan rakyat, dan atau berpengalaman memimpin.
“Itu tidak terlampau dominan ternyata dalam menentukan pilihan politik. Makanya, dalam temuan yang kita tampilkan secara umum seperti ini, PDIP adalah partai yang masih unggul, disusul oleh Gerindra, kemudian disusul juga oleh Golkar,” ujarnya.
Selain itu, terang Adi, bahwasa ada temuan yang menurutnya cukup relatif menarik, yakni peningkatan signifikan terjadi pada Demokrat dan PKS. Pihaknya menduga, meningkatnya Demokrat ini tidak terlepas dari isu kudeta politik yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
Sedangkan PKS, mempersonifikasikan dirinya sebagai partai ataupun kelompok yang memperjuangkan kalangan Islam. “Partai ini meningkat, tetapi ya agak sedikit signifikan, kira-kira begitu dengan dua isu. Ini kan soal persepi yang dibangun oleh masyarakat,” katanya.
Kesimpulannya, menurut Adi, jika melihat kecenderungan kenapa seseorang memilih partai politik dan kenapa publik memilih partai politik, itu bisa dikatakan bahwa membangun figur ketokohan yang kuat dan citra yang baik itu jauh lebih penting atau sangat diperlukan oleh partai politik untuk menarik simpati pemilih, dibandingkan merumuskan visi misi, program kerja ataupun citra-citra yang dinilai sebagai rasional dan lain-lain.
“Tentu ini menjadi PR kita bersama, masyarakat kita tuh yang dibayangkan adalah soal ketokohan,” ucapnya.
Untuk diketahui, populasi survei ini adalah warga Indonesia yang telah memiliki hak pilih sesuai undang-undang yang berlaku. Lalu, kerangka sampelnya merupakan responden yang pernah diwawancarai secara tatap muka dalam survei nasional yang diselenggarakan pada rentang waktu September 2017-Desember 2020.
Adapun sampelnya sebanyak 1.200 responden dan diambil menggunakan metode simple random sampling dari 6.000 nomor HP yang telah dipilih secara acak dari kerangka sampel yang ada. Serta disesuaikan dengan proporsi populasi dan gender.
Untuk margin of error surveinya, sebesar ± 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakukan dengan metode telepolling dan menggunakan kuisioner yang dilakukan oleh surveyor terlatih. Pengambilan data tersebut dilakukan pada 23-28 Mei 2021 lalu.