Jakarta, Gatra.com- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Presiden Republik Indonesia ke-5 Megawati Sukarnoputri akan memperoleh gelar profesor kehormatan atau guru besar tidak tetap dari Universitas Pertahanan (Unhan) pada besok, Jumat, 11 Juni 2021 dalam sidang senat terbuka.
Sebelumnya, ia juga pernah menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang yang berbeda-beda, mulai dari Universitas Waseda Jepang, Moscow State Institute, Korea Maritime and Ocean University serta Universitas Padjadjaran Bandung. Adapun beberapa pemimpin nasional yang telah memperoleh gelar profesor kehormatan, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Unhan pada tahun 2014 dan Ketua Mahkamah Agung (MA) M Syarifudin dari Universitas Diponegoro (Undip) tahun ini, seperti dilansir dari keterangan tertulis yang diperoleh Gatra.com pada Kamis siang, (10/6).
"Sejak awal 2006, gelar profesor memang tidak lagi menjadi monopoli bagi mereka yang bergumul di bidang pendidikan tinggi. Gelar profesor [riset] juga diberikan kepada profesi/fungsi peneliti. Apalagi dalam kasus Megawati Sukarnoputri [seperti halnya SBY dan Syarifuddin], gelar profesor itu diberi tambahan atribusi kehormatan," ungkap Dr. Kusnanto Anggoro, Peneliti di Bidang Politik dan Keamanan Internasional.
Dengan demikian, kata Kusnanto, profesor kehormatan itu bukan pekerjaan permanen dan dibebani dengan kewajiban untuk memberi kuliah secara reguler serta membimbing mahasiswa melakukan penelitian dan menulis tugas-tugas akhir. Dengan menyandang gelar tersebut, seseorang juga tidak mendapatkan gaji dan tunjangan seperti layaknya seorang profesor. Dengan atribusi kehormatan itu, ukuran kriteria menjadi berbeda. Karena itu pula, maka bisa dimengerti jika gelar profesor kehormatan itu dapat diberikan kepada siapa saja yang dianggap memiliki kemampuan mumpuni.
Terkait kualitas akademik, lanjutnya, tak perlu diperdebatkan. Pada akhirnya, tolak ukur yang tidak bisa diganggu gugat adalah terpenuhinya persyaratan administratif dan prosedur, termasuk penilaian dari Dewan Guru Besar, seperti diatur dalam ketentuan perundangan-undangan, khususnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 88 Tahun 2013 Tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik di Perguruan Tinggi. "Saya yakin seluruh ketentuan itu pun sudah dipenuhi untuk gelar profesor kehormatan bagi Megawati Sukarnoputri. Rektor Unhan Prof. Dr. Laksdya Amarulla Octavian adalah seorang yang cermat dan teliti, selain menjunjung tinggi nilai-nilai akademik," tutur Kusnanto.
Ia kemudian mengatakan, Megawati seharusnya dapat meraih gelar profesor kehormatan itu 7-8 tahun sebelumnya, terhitung sejak berlakunya Permendikbud tersebut. Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Menteri itu hanya menentukan bahwa gelar kehormatan diberikan kepada memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Frasa potensi untuk dikembangkan saja menunjukkan bahwa derajat keilmuwan itu bukan ukuran utama bagi seseorang untuk memperoleh gelar profesor kehormatan. Pengertian tacit (tersembunyi) juga memiliki konotasi untuk perlu dikaji lebih jauh. Dengan demikian, bahkan sebuah visi, inspirasi atau mimpi layak untuk dipertimbangkan.
Dosen di Universitas Pertahanan itu menyebut, tidak banyak yang memperoleh gelar profesor setelah secara resmi meninggalkan panggung kekuasaan formal atau tidak berada di puncak prestasinya. Seingatnya, selain Megawati, tokoh yang menerima gelar profesor kehormatan itu hanya Perdana Menteri (PM) ke-26 Australia Kevin Rudd yang memperoleh gelar dari Universitas Beijing Cina pada tahun 2016 lalu, yang mana sudah dua belas tahun sesudah tidak lagi menjadi PM. Megawati merupakan kasus ketika karakter, inspirasi, pemahaman atas masalah bangsa dan negaranya dan bukan kedudukan politik, merupakan faktor penting.
"Bagi saya, pemberian gelar guru besar kehormatan kepada Megawati merupakan upaya Universitas Pertahanan untuk outreach. Membangun komunitas keilmuwan dengan merangkul kalangan-kalangan dari luar dinding angker perguruan tinggi. Dalam konteks Indonesia itu menjadi penting, apalagi terkait dengan bidang pertahanan, yang saya yakin ada sesuatu yang khas tentang Indonesia dan tidak mudah dibingkai dalam kerangka keilmuwan yang berasal dari Barat," kata Kusnanto.
"Siapa tahu dalam waktu yang tidak lama, teori tentang karakter kepemimpinan strategis Indonesia akan menjadi lebih operasional dibanding apa yang selama ini sering dikenal melalui Hasthabrata atau Wahyu Makutarama. Pengalaman Megawati bergumul dengan politik, apalagi di tengah cengkeraman otoritarianisme Orde Baru, krisis ekonomi maupun kecamuk konflik primordial di awal reformasi, merupakan batu ujian yang jauh lebih rumit dari sekedar memenuhi bingkai-bingkai akademik yang kaku," imbuhnya.