Jakarta, Gatra.com – Aktivis HAM Papua Barat, Rosa Javiera, mengungkapkan bahwa sebagian besar warga Papua Barat mengalami trauma saat harus mengikuti program vaksinasi Covid-19 nasional dari pemerintah lantaran petugas-petugas vaksinasinya merupakan anggota TNI-Polri.
“Masih banyak warga Papua Barat yang masih merasakan trauma karena vaksinasi dilakukan oleh anggota militer dan polisi. Bagi kami, [kehadiran militer dan polisi] menghadirkan trauma,” ujar Rosa dalam webinar yang digelar oleh Amnesty International pada Selasa, (21/9/2021).
“Itu sangat mengkhawatirkan bagi kami karena adanya latar belakang politik di Papua Barat tentang hal itu. Bagi kami, itu menjadi pertanyaan besar kenapa vaksinasi harus dilakukan oleh anggota militer dan anggota BIN,” imbuh Rosa.
Menurut Rosa, program vaksinasi nasional merupakan salah satu isu kunci di Provinsi Papua Barat saat ini, termasuk juga di Provinsi Papua seiring dengan akan segera digelarnya Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021 di Jayapura pada bulan Oktober mendatang.
Menurut pembaruan data dari Dinas Kesehatan Papua Barat per tanggal 18 September 2021, capaian vaksinasi Covid-19 di wilayah tersebut masih berada di kisaran di bawah 30%, baik vaksinasi dosis pertama maupun kedua.
Dosis pertama vaksinasi Covid-19 di Papua Barat baru menyasar sejumlah 230.622 peserta atau 28,9%. Sementara dosis kedua baru menyasar sebanyak 137.324 peserta atau 17,2%. Total sasarannya adalah sebanyak 797.402 orang.
Di satu sisi, Rosa menambahkan, orang ingin menghentikan pandemi dan membentuk kekebalan kelompok. Namun, di sisi lain, menurutnya, cara pemerintah menangani pandemi Covid-19—dengan menugaskan anggota TNI-Polri sebagai petugas vaksinasi—juga menghadirkan isu sensitif tersendiri bagi warga Papua Barat.
Oleh karena itu, Rosa mendorong agar pemerintah melakukan pendekatan lain dalam menjalankan program vaksinasi Covid-19 tersebut. “Menurut kami, itu harus dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan barangkali mereka bisa merekrut relawan,” kata Rosa.