Indragiri Hulu, Gatra.com - Kelompok Kerja (Pokja) buruh asal Kecamatan Kelayang, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, terpaksa melawan Kepala Desa (Kades) Bongkal Malang hal ini seturut dengan susahnya mereka untuk bekerja di sebuah perusahaan disana, dan berujung melaporkan hal tersebut ke Bupati-nya.
Hermansyah salah seorang buruh di Kelayang mengatakan, langkah melaporkan Devi Ariat (Kades Kelayang), dikarenakan sang kades dituding menghalang-halangi warganya untuk mencari kerja, hal itu di karenakan si Kades juga menjabat sebagai Ketua Federasi Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (PUK FSPTI-SPSI Kelayang) sehingga keputusan yang di buat berujung kontradiksi dan berujung warga yang sulit untuk mencari makan.
"Ini persoalan perut yang sudah menjadi gangguan bagi kami buruh dari Pokja oleh Kades Bongkal Malang" ujar Hermansyah kepada Gatra.com, Senin (1/11).
Hermansyah menyebut, selain dirinya yang memilih untuk melaporkan hal itu, ada 59 orang lainnya yang ikut melaporkan hal tersebut yang tergabung dalam dalam dua desa yakni; Dusun Tua Pelang dan Bongkal Malang yang mana kedua kampung itu masuk pada wilayah kerja perusahaan yang bergerak di bidang pabrik kelapa sawit tersebut.
Adapun urgensi mereka untuk melaporkan hal itu yakni; Merugikan kepentingan umum, membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain dan golongan tertentu, menyalahgunakan wewenang tugas, hak atau kewajibannya, melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga atau golongan masyarakat tertentu dan melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa.
"Itu adalah tuntutan kami kepada Bupati Inhu melalui Dinas terkait, laporan sudah disampaikan. Masyarakat juga ingin makan bukan kepala Desa saja yang mau bekerja, kami hanya ingin jadi buruh di salah satu perusahaan tetapi Kades selalu menghalangi," ungkap Hermansyah, yang didampingi warga usai membuat laporan ke Dinas Terkait.
"Kami juga butuh penghasilan dengan menjadi buruh bongkar muat, mentang mentang kades ketua SPTI-SPSI Desa, dia diduga menghalangi orang lain untuk bekerja. Ditengah pandemi covid-19 seperti ini seharusnya Kades membantu warganya bukan malah menekan kami, ini persoalan perut, jadi sama-sama ingin cari makan," ujar Iskandar salah seorang buruh lainnya.
Iskandar menyebut, dengan adanya laporan itu dapat ditindak lanjuti oleh Dinas terkait dan Bupati Inhu agar merespon laporan masyarakat Desa Bongkal Malang serta mencarikan solusi, agar kepala Desa Bongkal Malang berdiri pada semestinya sebagai kepala Desa bukan berdiri sebagai pimpinan organisasi.
"Apalagi Pokja ini dibentuk sebelumnya atas arahan dan petunjuk dari Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Inhu, ulah 'Jatah Preman' yang sangat banyak di dalam organisasi buruh, sebelum kami semua memilih hengkang," tandasnya.
Terpisah Kades Bongkal Malang Depi Ariat kepada wartawan membantah dituding telah menghalangi warga membentuk serikat pekerja untuk menjadi buruh pekerja di salah satu Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Menurutnya, jika serikat tersebut memenuhi syarat dan aturan yang berlaku tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Untuk mendirikan serikat harus ada AD/ART, ada SK serta lainnya sehingga kita melangkah dalam menjalankan suatu organisasi punya payung hukum yang melindungi, paparnya.
"Aturan buruh itu jelas dan diakui kedudukannya oleh Undang-Undang, saya rasa tak ada kami yang berniat menghalalangi", ujarnya.
Dirinya juga membantah isu yang mengatasnamakan masyarakat banyak dan bertanda tangan dalam sebuah surat pernyataan, bahwa dirinya menghalangi warganya untuk mencari kerja ialah tidak benar adanya.
Dijelaskannya, dirinya memang mendapat informasi bahwa di PKS PT SIR ada Kelompok Kerja (Pokja) ingin masuk kerja hanya melalui rekomendasi dari Disnaker Inhu tanpa melalui Serikat Pekerja atau organisasi yang resmi.
"Sementara di PKS PT SIR sudah ada perjanjian kontrak bersama dengan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PUK Desa Bongkal Malang dan Desa Dusun Tua Pelang. Jika rekomendasi ini berlaku akan menimbulkan konflik antara serikat SPTI dan kelompok kerja tersebut," tandasnya.
Sebelumnya terungkap fakta saat agenda hearing dilaksanakan oleh Komisi IV DPRD Inhu, banyak pekerja buruh yang masuk kedalam organisasi buruh tersebut justru merasa tertekan pula hidupnya, ulah 'Jatah Preman' (Japren) alias setoran kepada pengurus serikat buruh, yang dinilai terlalu memberatkan para pekerja kasar itu.
Wilayah kerja PT SIR (Sawit Inti Raya) di Kecamatan Kelayang. Disana, akhirnya terungkap fakta bahwa saat agenda hearing DPRD Inhu beberapa waktu lalu, para buruh tak lagi betah lantaran banyaknya setoran yang harus diberikan kepada pengurus. Konflik internal organisasi buruh berujung ketidaknyamanan pekerja jadi taruhan tak khayal 'gesekan' pun sering terjadi dan di khwatirkan berujung ricuh.
Kisah itu berawal dari organisasi Pimpinan Unik Kerja Federasi Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (PUK FSPTI-SPSI Inhu) menerima kontrak kerja sama dengan PT SIR perihal mempekerjakan warga tempatan yang nantinya akan menjadi buruh bongkar muat disana.
Namun di perjalanannya para buruh yang harusnya masuk didalam wadah FSPTI itu malah merasa tidak mendapat kenyamanan dalam bekerja lantaran banyaknya potongan duit yang dilakukan oleh para pengurus organisasi mereka.
"Kita banyak yang tidak tahan lantaran terlalu besar biaya yang dikeluarkan buruh jika ingin bekerja. Contohnya saja; dikenakan uang kartu anggota sebesar Rp1 Juta," ujar Iskandar yang memilih keluar dari organisasi FSPTI-SPSI itu.
Iskandar menyebut, selain mahalnya duit untuk kartu anggota yang menjadi persoalan buruh disana, lagi-lagi potongan duit juga dilakukan, yakni setiap mobil Dumb Truk (DT) yang akan membongkar Tandan Buah Segar (TBS) kedalam pabrik maka akan kena potongan sebesar Rp25 Ribu.
"Segala macam bentuk potongan atau setoran duit tadi akan diserahkan kepada pengurus SPTI di Desa Bongkal Malang dan Desa Desan Dusun Tua Pelang dimana dua desa itu menjadi wilayah kerja perusahaan. Alasan klasik untuk kemajuan organisasi selalu digambarkan," ujar Iskandar dihadapan seluruh mitra kerja Komisi IV DPRD Inhu tersebut.