Home Kolom Ketika Listrik Menjadi Penggerak Sejarah

Ketika Listrik Menjadi Penggerak Sejarah

Salah satu kenikmatan membaca buku sejarah adalah selalu ada kejutan di dalamnya. Demikian pula dengan buku yang ditulis Eko Sulistyo ini. Sebagai sejarawan dan komisaris di PT PLN (Persero), Eko telah menuliskan soal sejarah listrik di Surakarta, berbasis kekayaan data dan imajinasi yang luar biasa. Setidaknya ada dua kejutan selepas membaca buku ini.

Kejutan pertama, kita memperoleh informasi terobosan teknologi penting ketika membahas pementasan tari Gusti Nurul di Belanda, pada awal Januari 1937. Kedua, soal sumber energi listrik bagi warga Surakarta atau Solo, bersumber dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang saat ini tergolong sumber energi terbarukan.

Saat Gusti Nurul menari di Istana Kerajaan Belanda, tidak ada karawitan pengiring di ruangan tempatnya tampil. Karawitan dimainkan para nayaga dari Pura Mangkunegaran, Solo, yang jaraknya ribuan kilometer dari negeri Belanda. Gending karawitan itu disiarkan secara live oleh SRV (Solosche Radio Vereneeging) agar suara gamelan bisa berkumandang di ruangan resepsi pesta pernikahan mengiringi gerakan tari Gusti Nurul.

Transfer suara seperti ini, mirip-mirip dengan live streaming dalam platform komunikasi digital saat ini. Dengan demikian bisa dikatakan, opsi teknik audio seperti itu adalah sebuah terobosan besar. Figur yang menjadi konseptor di balik kecanggihan imajinasi seperti itu, dengan parameter teknologi zaman itu, adalah ayah Gusti Nurul sendiri, yaitu Mangkunegara VII, seorang penguasa keraton Mangkunegaran.

Apa yang terjadi terkait pentas Gusti Nurul, adalah salah satu jejak manfaat listrik di Solo, ketika fasilitas dan teknologi sangat mendukung perkembangan peradaban setempat.

Dibangunnya fasilitas listrik di Solo, juga makin mempercantik kota, baik dari segi tampilan fisik maupun kemajuan peradaban warganya.

Solo sejak lama dikenal sebagai pusat kebudayaan adiluhung Jawa, yang selalu memberi inspirasi bagi lahirnya sejumlah karya puisi, prosa, film, musik, dan karya sastra lainnya.

Dalam bidang musik, misalnya, di Solo berdiri perusahaan rekaman milik negara yang sangat legendaris, yakni Lokananta. Keberadaan Lokananta bisa dianggap sebagai kelanjutan dari tradisi seni pertunjukan yang marak di Solo sejak awal Abad 20, termasuk berdirinya sejumlah penerbit dan percetakan, yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan listrik.

Mungkinkah semua hanya kebenaran sejarah, ketika Solo sudah dialiri listrik, berdiri pula lembaga pendidikan AMS (setara SMA) jurusan sastra timur di pusat kebudayaan Jawa tersebut.

Yang jelas, dari AMS Solo ini muncul nama-nama ikonik, seperti Amir Hamzah (sastrawan), Armijn Pane (sastrawan), dan Utami Suryadarma (aktivis sosial dan pengasuh majalah).

Dari segi lini masa, nama-nama ini tumbuh hampir berbarengan dengan Gusti Nurul, yang karena dukungan listrik, bisa terus berkarya dan mengekspresikan gagasannya. Utami Suryadarma, misalnya, tak lama setelah lulus AMS, bersama koleganya menerbitkan majalah Pahesan (Jawa, artinya cermin), yang seluruh pengasuh majalah ini adalah perempuan. Artinya, semangat emansipasi dan keseteraan gender, sudah tumbuh di masa itu.

Solo dan sekitarnya secara administratif adalah wilayah eks Karesiden Surakarta, yang di masa kolonial disebut Vorstenlanden atau daerah kekuasaan raja. Vorstenlanden di Solo terbagi antara wilayah Keratorn Kasunanan dan Pura Mangkunegaran.

Masuknya fasilitas kelistrikan di Solo, tidak bisa dilepaskan dari peran dua penguasa keraton tersebut, yang bisa disebut “masa keemasan” wilayah kerajaan di Solo.

Sudah menjadi pengetahuan umum, antara kedua dinasti kerajaan penerus dinasti mataram tersebut selalu terjadi persaingan terselubung. Namun untuk kepentingan pengadaan listrik bagi warga Solo, keduanya bisa mengeliminir perbedaan, dan berkompromi mendirikan pabrik listrik bernama SEM (Solosche Electriciteit Maatschappij).

SEM tidak hanya mengaliri listrik untuk penerangan jalan, tapi juga kedua keraton, kantor, sekolah, rumah-rumah bangsawan dan pejabat kolonial, pengusaha dan warga.

 

Judul Buku                 :    Jejak Listrik Di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957  
Penulis                         :    Eko Sulistyo
Penerbit                       :    Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Penerbitan     :    2021
Halaman                     :    XIII + 278

Penulis buku ini dengan runut menjelaskan soal peran masing-masing keraton sehubungan elektrifikasi di wilayah Solo dan sekitarnya. Dalam hal kepeloporan peran Pakubuwana X dari Kasunanan (1893-1939), telah menghibahkan tanah di Purwosari untuk lokasi kantor SEM. Sementara Mangkunegara VII (1916-1944) bisa dicatat saat berani mengambil inisiatif membangun pembangkit sendiri, ketika kebutuhan listrik dirasa semakin tinggi.

Mangkunegara VII berhasil membangun PLTA Kali Samin di Tawangmangu. Meski PLTA Tawangmangu tidak berumur panjang, gagasan Mangkunegara VII dengan membangun pembangkit listrik mandiri untuk kebutuhan warganya seperti mendahului zamannya. Mencerminkan jalan kemandirian bangsa, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Mangkunegara VII sendiri yang memiliki karakter pembaharu, bahkan sedikit jiwa pemberontak. Sebelum dinobatkan sebagai penguasa Praja Mangkunegaran, ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya di negeri Belanda, melanjutkan pendidikan. Selain menyerap materi keilmuan, kita boleh menduga beliau memperoleh pengetahuan teknologi PLTA yang memang sudah maju di negeri Belanda.

PLTA Tawangmangu memang tidak berumur panjang, karena ada unsur bisnis, SEM merasa pembangkit ini akan menjadi pesaing, yang akan mengurangi keuntungannya. Sehingga pembangkit ini harus ditutup, setelah sekitar tiga tahun beroperasi pada 1930-an.

Tampaknya pemerintah kolonial paham, dihubungkan dengan karakter Mangkunegara VII sendiri, yang selain visioner, juga memiliki jiwa pemberontak, bahwa PLTA Tawangmangu sejatinya adalah simbol nasionalisme.

Dengan membangun pembangkit sendiri, Mangkunegara VII ingin menunjukkan kemandiriannya kepada bangsanya.

Banyak hal menarik lainnya diungkap dalam buku ini. Selain membahas kehadiran listrik yang dimotori penguasa keraton di Solo, juga munculnya budaya perkotaan akibat listrik. Buku ini selain berhasil menghadirkan listrik sebagai penggerak sejarah dan modernitas, juga akan menjadi genre baru penulisan sejarah di Indonesia bertemakan perkembangan teknologi.


Peresensi: Aris Santoso, alumnus jurusan sejarah FIB UI, juga dikenal sebagai pengamat militer.

538