Banjarnegara, Gatra.com – Sebagai situs bersejarah, candi memiliki sisi historis dan budaya yang tinggi. Sebagian besar candi yang ada di Indonesia dibangun pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Dengan usia yang makin menua, candi rentan untuk rusak, mengalami cacat atau penurunan fungsi fisik. Kerusakan akan mudah terjadi jika warisan budaya itu memiliki ekosistem lingkungan yang tidak baik.
Upaya konservasi candi dilakukan oleh pemerintah berkolaborasi dengan swasta dan masyarakat. Gerakan Candi Darling (Candi Sadar Lingkungan) salah satunya menjadi bagian dari upaya konservasi yang dilakukan masyarakat, terutama generasi muda lewat program Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF).
Terbaru, Gerakan Candi Darling mendukung konservasi candi dengan penanaman ribuan pohon dan semak di kawasan Candi Arjuna, bangunan candi Hindu yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Tengah, Sukronedi menyatakan, kegiatan tersebut penting dilakukan dalam upaya menata ekosistem lingkungan candi agar tidak mengalami kerusakan.
“Dengan usia bangunan yang sudah 1.300-an tahun tentu candi akan mengalami kerusakan. Apalagi dari abad ke 10-15 Masehi, candi tidak digunakan oleh penganut agama Hindu, sehingga dibiarkan dan tidak dirawat. Kalau suatu benda tidak dirawat tentu akan mengalami kerusakan dan pelapukan,” kata Sukronedi.
Karena itu, upaya perawatan yang dilakukan BPCB adalah dengan melakukan pemugaran dan renovasi terhadap candi saban tahun. Sukronedi menyebut, usia fisik candi sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Faktor-faktor yang memengaruhi usia candi antara lain cuaca, kelembaban, dan kontaminasi lingkungan.
“Cagar budaya kita kan tidak ada di dalam ruangan. Semua yang berada di luar ruangan dipengaruhi oleh cuaca, air, kelembaban dan sebagainya. Kalau ada belerang yang bereaksi dengan air, maka akan membentuk asam sulfat, dan itu sangat merusak batu-batu dari candi,” ujar Sukronedi.
Salah satu upaya konservasi yang dilakukan adalah dengan melakukan penanaman pohon di sekitar lingkungan candi. Pohon yang ditanam di kawasan candi merupakan pohon terpilih dengan memperhatikan jarak tanam, usia pohon, lebar daun, dan kekuatan akar. “Sulfur bisa tertahan dengan adanya pohon-pohon tersebut, sehingga tidak sampai ke candi dan cagar budaya, itu salah satu konservasi yang kita lakukan,” katanya.
Struktur bebatuan dan tanah juga berpengaruh terhadap ketahanan fisik candi. Selain itu, ada ancaman lain seperti bencana alam dan kerusakan lingkungan oleh manusia. “Itu yang kita lakukan pemeliharaan. Karena Candi di Kawasan Dieng ini bukan untuk generasi yang sekarang saja tapi juga untuk generasi yang akan datang,” Sukronedi menjelaskan.
Vice President Director Djarum Foundation, FX Supanji menyatakan, jumlah candi di Indonesia terhitung banyak dengan pemandangan yang masih asri. Program BDLF dinilai cocok untuk mendukung upaya konservasi candi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Program BDLF kini fokus terhadap penjagaan warisan budaya yang menjadi motto dari founding fathers perusahaan.
“Pendiri Djarum, secara sengaja atau tidak, menyampaikan bahwa perusahaan ini lahir dan tumbuh berkembang bersama masyarakat. Oleh penerusnya diterjemahkan pesan tersebut. Kita mesti berolahraga, berlingkungan, memajukan pendidikan, juga sampai ke budaya,” kata FX Supanji.
Program yang dicanangkan BDLF menurutnya sebagai upaya menjaga keseimbangan bumi agar tidak mengalami kerusakan. Salah satunya dengan melakukan penanaman pohon sebanyak-banyaknya dan menjaga Indonesia sebagai bagian dari paru-paru dunia. “Kita harus mengembalikan hutan tanpa mengurangi pendapatan masyarakat. Hutannya terjaga dan penghasilannya juga harus ada,” pungkasnya.