Jakarta, Gatra.com - Sengketa kredit fasilitas antara PT Titan Infra Energy dan Bank Mandiri menuai sejumlah komentar dari berbagai kalangan. Terakhir, pihak Bank Mandiri mendaftarkan permohonan praperadilan pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin 11 Juli 2022 silam.
Permohonan praperadilan dengan registrasi nomor perkara 59/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL dinilai oleh Adi Marwan selaku Sekretaris Dewan Penasihat Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai embrio persoalan hukum baru.
“Coba bayangkan saja, kalau permohonan petitum Bank Mandiri itu diterima oleh Hakim yang terjadi adalah Pengadilan justru menghasilkan putusan hukum yang saling bertentangan,” jelas Adi dalam rilis, Selasa (26/7).
Pernyataan Adi tersebut mengacu pada keputusan hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Anry Widio Laksono pada 21 Juni 2022. Dalam putusannya pengadilan menerima tujuh dari sebelas petitum yang dimohonkan PT Titan Infra Energy.
Saat itu Adi Marwan juga sependapat dengan dalil yang diajukan pengacara Titan Energy Haposan Hutagalung. “Tindakan penggeledahan, penyitaan hingga penutupan rekening debitur (Titan Infra Energy) dilakukan tanpa ada putusan pengadilan,” ungkap Adi.
Jika sekarang dilakukan permohonan praperadilan dan dikabulkan oleh hakim, kasusnya tidak selesai namun justru memicu problem hukum baru.
“Keputusan pengadilan seharusnya membawa angin penyelesaian dan bukannya saling mempertentangkan pihak satu dengan yang lainnya,” tutur Adi.
Seperti yang diketahui Titan Infra Energy dan Sindikasi Bank; yang terdiri dari Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Credit Suise; melakukan perjanjian kredit fasilitas pada Agustus 2018. Selain dokumen kontrak kredit, juga ada perjanjian pengelolaan rekening (CAMA/Cash Account Management Agreement) yang ditandatangani oleh pra pihak. Titan sebagai debitur dan Sindikasi Bank selaku kreditur.
“Ranah persoalan yang ada sebenarnya adalah murni pada bidang Perdata,” kata Adi.
Dalam melakukan perjanjian perikatan maka acuan utamanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata.
“Setidaknya ada sejumlah pasal yang mengatur perikatan para pihak yaitu Pasal 1320, 1338, 1238, 1243 KUH Perdata,” papar Adi Warman.
Kontrak antara pihak debitur dan kreditur dapat dilakukan jika memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Artinya Bank Sindikasi, termasuk Bank Mandiri telah menilai Titan Infra Energy memenuhi persyaratan.
Mulai dari objek yang diperjanjikan, kecapakapan para pihak yang terlibat, suatu sebab yang tidak dilarang hingga yang terutama adalah kesepakatan para pihak.
Saat kreditur dan debitur telah menandatangani, menurut Adi, artinya mereka telah diikat secara hukum yang sah yaitu Undang-Undang Hukum Perdata.
“Jika sudah sah maka berlakulah Pasal 1338 yaitu semua persetujuan yang dibuat secara undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya,” jelas Adi.
Apabila dalam pelaksanaannya, Bank Mandiri menganggap debiturnya melakukan tindakan yang masuk kategori wanprestasi. Maka dia harus melihat aturan tentang pasal wanprestasi dalam kontrak yang sudah ditandatangani.
“Itu sudah jelas diatur dalam Pasal 1238. Kalau benar Bank Mandiri telah mengirimkan surat teguran resmi maka PT Titan harus mematuhinya,” tegas Adi.
Apabila pihak debitur tidak patuh setelah mendapat surat teguran dari kreditur maka dalil yang digunakan adalah Pasal 1243 KUH Perdata. “Tidak bisa loncat ke pidana begitu saja,” seloroh pengacara senior yang berkantor di daerah Slipi ini.
Apa yang diungkap Adi Marwan senada pula dengan pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Profesor M. Hawin. Menurutnya, seluruh proses relasi debitur dan kreditur menggunakan alas hukum perdata. Sehingga apabila muncul persoalan (dispute) terkait proses implementasi perjanjian saluran penyelesaian harus pada koridor hukum perdata.
Dengan pisau analisa hukum perdata, prof Hawin, lebih jauh mengupas klausul perjanjian perikatan antara Titan Infra Energy dan Sindikasi Bank. Hasilnya menyatakan apabila muncul kelalaian dari debitur maka beleid yang digunakan adalah Pasal 1243, 1250 dan 1267 KUH Perdata.
Keterangan pers Bank Mandiri yang beredar di media pada 1 Juli 2022, menurut pria yang telah beracara sejak 1989 ini, menggambarkan situasi perbankan nasional. Bank Mandiri menyatakan utang Titan kepada kreditur sindikasi berstatus noan performing loan alias macet.
Sejatinya masih dalam koridor perikatan perdata. Dalam kacamata perbankan persoalan kredit macet memang menjadi laten karena mempengaruhi reputasi mereka. Namun pilihan menggunakan jalur pidana, seperti yang dilakukan Bank Mandiri, justru memberi kesan bahwa pihak bank cenderung mengabaikan hak perdata nasabahnya yang dilindungi Undang-Undang Hukum Perdata.
“Pihak perbankan nampaknya perlu mendapatkan pemahaman khusus terkait material hukum pidana. Jika tidak maka nasabah Indonesia dapat seenaknya dipidanakan oleh bank. Ini jadi persoalan besar,” katanya Adi.
Alih-alih menempuh jalur penyelesaian sengketa perdata, Bank Mandiri justru melakukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan Bareskrim Polri pada Oktober 2021. Dan itu, dalam perspektif Adi Marwan, sama artinya dengan menyalakan alarm bagi perbankan nasional.