Jakarta, Gatra.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta polisi melihat kembali aturan tentang penggunaan senjata api.
Hal ini didasari atas peristiwa penembakan yang dilakukan pada Minggu (16/10) lalu oleh seorang anggota Polri dari Resimen 2 Pelopor Kedung Halang, Brimob terhadap tiga orang anak, yakni EI (15), AF (16), dan AA (15). Mereka dituduh sebagai pelaku begal di Bogor, Jawa Barat.
Akibat tembakan itu, ketiganya menderita luka di bagian pinggang hingga tembus ke perut, serta luka sobek di bagian lutut karena jatuh dari motor.
Baca Juga: Polisi Bekuk Tiga Begal Bercelurit di Jakarta Utara
"Kasus ini memperlihatkan dengan gamblang persoalan serius dalam penggunaan kekuatan oleh kepolisian. Berulangnya kasus-kasus ini akibat tumpulnya mekanisme kontrol dan absennya akuntabilitas polisi dan pemolisian," ujar peneliti Imparisial, Hussein Ahmad, di Jakarta, Senin (17/10).
Ia menuturkan bahwa pernyataan Wakapolresta Bogor, AKBP Ferdy Irawan dalam konferensi pers yang dilakukan hanya berselang beberapa jam setelah kejadian, tanpa didahului pemeriksaan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel. Keterangan itu belum cukup untuk menguji apakah tindakan yang diambil polisi telah sesuai dengan prinsip-prinsip maupun prosedur penggunaan senjata api.
Maka, lanjut Hussein, pemeriksaan diperlukan untuk mendapatkan hasil yang akuntabel sehingga bisa diukur dan dibuktikan, apakah tindakan yang diambil sudah memenuhi prinsip legalitas, nesesitas, proporsional, dan akuntabilitas sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Koalisi menilai bahwa peristiwa ini harus terlebih dahulu diperiksa secara mendalam. Kami menyangsikan pernyataan pejabat terkait yang menyebut bahwa penembakan dilakukan dengan sesuai prosedur (pernyataan sepihak)," katanya.
Baca Juga: Perkara Begal Viral Tewas oleh Korbannya Ditangani Jaksa
Berdasarkan aturan, penggunaan senjata api mengacu pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional, sebagaimana Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam, Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials.
“Ini mengatur mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api,” ujarnya.
Dalam ketentuan ini, lanjutnya penggunaan senjata api diletakkan sebagai alternatif terakhir dengan tujuan melindungi nyawa manusia (the “protect-life”-principle), yang dalam pelaksanaannya harus dapat diuji berdasarkan empat prinsip, yakni legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Hussein menjelaskan bahwa di Indonesia, terdapat beberapa ketentuan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip penggunaan senjata api yang diakui secara internasional. Beberapa di antaranya yaitu ketentuan internal Polri seperti Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Baca Juga: Brigadir J Tewas! Aturan Senpi Polisi Dinilai Terlalu Longgar dan Minim Pengawasan
"Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, penting untuk memastikan bahwa negara tidak mengabaikan kewajibannya untuk melindungi hak setiap orang, yang diduga melakukan kejahatan agar dapat membela diri dalam suatu proses peradilan pidana yang jujur dan adil (the right to a fair trial)," paparnya.
Atas kejadian ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta Kapolri meminta jajarannya untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, transparan, dan akuntabel dalam kasus ini dengan memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak.
Selain itu, ia meminta keterlibatan pihak lain seperti lembaga negara independen untuk turut aktif melakukan pemeriksaan dalam kasus ini, sesuai cakupan wewenangnya, terutama dalam memperhatikan kepentingan korban yang masih dalam usia anak.
Ia menegaskan evaluasi total penggunaan kekuatan dalam tugas-tugas pemolisian harus segera dilakukan. Hal ini turut melibatkan pihak eksekutif dan legislatif sebagai pembuat kebijakan sehingga kasus serupa tidak berulang.
"Kami meminta presiden membentuk tim independen dengan keterwakilan masyarakat sipil yang memadai untuk melakukan kajian evaluatif tentang penggunaan kekuatan kepolisian dan eksesnya terhadap keamanan warga negara. Presiden dan DPR perlu segera menindaklanjuti persoalan-persoalan yang menyangkut Polri dengan agenda konkret reformasi kepolisian demi memastikan kerja-kerja kepolisian profesional, transparan, dan akuntabel," katanya.