Jakarta, Gatra.com - Koalisi Kampus Untuk Demokrasi Papua menerbitkan tiga buku hasil penelitian di Papua pada Rabu (15/2) lalu. Buku pertama berjudul “Bayang-bayang Kerentanan: Tantangan Penghidupan Orang Sowek di Supiori”, yang kedua berjudul “Geliat Kampung Tersembunyi: Siasat Penghidupan dan Perubahan di Teluk Demenggong, Jayapura”, serta buku ketiga berjudul “Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi”.
Salah satu penulis buku, Elvira Rumkabu mengatakan bahwa meskipun ketiga buku saling berkaitan, namun masing-masing buku bisa dibaca secara terpisah.
"Buku ini bukan merupakan buku seri dan bisa dibaca terpisah. Memang ketiganya berasal dari pertanyaan penelitian yang sama dan dilaksanakan dalam tahun yang sama, yaitu 2022 lalu," ujarnya saat dihubungi, Jumat (17/2).
Ia mengungkapkan bahwa buku yang diluncurkan merupakan hasil dari penelitian tentang upaya menemukan gap besar dalam produk pembangunan nasional dan pemaknaan pembangunan menurut masyarakat adat. Menurutnya, beberapa kebijakan akselerasi pembangunan di Papua belum mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat.
"Pemerintah selalu mengedepankan semangat pembangunan berbasis masyarakat adat, namun konseptualisasinya tidak jelas dan miskin makna. Pendekatan pembangunan barbasis budaya hanya dilihat dari pendekatan kewilayahaan tanpa melihat karakteristik budaya, adat, pengetahuan, posisi perempuan adat, hingga pranata dan perubahan perubahan sosial yang ada," paparnya.
Sejauh ini, pihaknya menilai bahwa pendekatan pembangunan yang semakin masif belum juga lepas dari karakter utamanya yaitu top down, migrant capture paternalistic, dan eksploitatif. Hal ini secara sistematis mengesampingkan narasi dan partisipasi masyarakat adat Papua yang menyebabkan terkikisnya pengetahuan adat, institusi tradisional, serta praktik dan nilai-nilai adat yang ada.
Elvira menegaskan bahwa penelitian yang dilakukan timnya bermaksud mengisi gap antara pembangunan adil dan berkelanjutan menurut negara, serta apa yang menjadi pembangunan berkelanjutan menurut masyarakat adat.
"Jadi penelitian ini meletakkan perspektif, pandangan, pengetahuan hingga dinamika internal masyarakat adat sebagai pusat dari penelitian," terangnya.
Proses riset dan penulisan berlangsung selama satu tahun dua bulan. Penelitian per wilayah dilakukan untuk memetakan perbedaan dan karakter masing-masing wilayah.
"Yang pertama selesai adalah Aiwat, lalu Kendate, dan terakhir Sowek," lanjutnya.
Menulis bersama beberapa rekan lain, ia menyatakan bahwa seluruh penulis sejak awal telah mengikuti workshop metodologi riset untuk mendesain keseluruhan riset dan cara penulisannya. "Kami bersama-sama merumuskan pertanyaan-pertanyaan inti riset. Kami berbagi tugas mendalami tiap pertanyaan riset saat berada di lapangan. Kami lalu saling berbagi data, berdiskusi, dan menganalisa bersama, lalu menulis bab masing-masing sesuai dengan pertanyaan riset," ucapnya.
Terus saling berbagi peran dalam memberi masukan dan memperbaiki penulisan, ia mengatakan bahwa pihak lain turut membantu dalam prosesnya. Hal ini dilakukan untuk menerima masukan dari hasil penulisan yang dilakukan.
Dalam prosesnya, Elvira mengaku kendala tersulit terjadi justru saat akan menuliskannya. Banyaknya data yang kami sudah dianalisis harus dipoles kembali agar bisa menjadi tulisan yang menarik.
"Bagaimana menulisnya agar menarik, mudah dipahami, dan mengalir dari satu bab ke bab berikutnya itu membutuhkan proses agak lama. Kendala lainnya adalah saat hendak mengklarifikasi kembali ke kampung, beberapa data yang kami anggap sebagai temuan penting. Kami anggap sulit karena akses informasi ke kampung-kampung ini tidak selalu lancar," ungkapnya.
Dengan adanya buku ini, ia berharap gambaran atas masyarakat adat Papua yang dipaksa untuk mengubah sistem kehidupan mereka yang berbeda dengan proyek pembangunan bisa tergambarkan.
Fenomena yang terjadi bahwa rezim investasi merampas ruang-ruang hidup masyarakat adat bisa dilihat sebagai masalah yang harus segera dibenahi.