Jakarta, Gatra.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi meluncurkan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, mengatakan bahwa ini akan dilakukan secara bertahap hingga 2030 mendatang.
"Pada 2023 ini akan dilaksanakan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik dalam tahap mandatory," ucapnya dalam webinar Peluncuran Perdagangan Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik di Indonesia, Rabu (22/2).
Jisman mengatakan bahwa perdagangan karbon pertama dilaksanakan di Indonesia pada unit pembangkit PLTU batubara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. "Terdapat 99 unit PLTU yang berpotensi mengikuti perdagangan karbon di tahun ini," ujar dia.
Baca juga: Jisman Jadi Dirjen Ketenagalistrikan, Menteri ESDM Beri Pesan Penyediaan Listrik di IKN
Untuk menerapkannya, Kementerian ESDM menerbitkan aturan turunan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022, tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2023 tentang Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Gas Rumah Kaca Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara yang Terhubung ke Jaringan Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Fase Kesatu.
Nantinya, penerapan perdagangan karbon terkait Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) akan dlakukan melalui tiga fase. Pembagian fase ini meliputi cakupan PLTU yang akan menerapkan kebijakan perdagangan karbon. Fase I dimulai pada 2023-2024, fase II pada 2025-2027 dan fase III pada tahun 2027-2030.
"Untuk fase setelah tahun 2030 akan dilaksanakan sesuai dengan target pengendalian emisi gas rumah kaca sektor energi," lanjutnya. Baca juga: Shell Perkenalkan Tiga Program Kemitraan untuk Peluang Bisnis
Lebih lanjut Jisman menjelaskan bahwa PTBAE pada fase I hanya berlaku pada PLTU batubara. Ini terdiri dari empat kategori, meliputi:
• PLTU nonmulut tambang dan PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 25 mega watt (MW) sampai dengan kurang dari 100 MW.
• PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW.
• PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW sampai dengan kurang dari atau sama dengan 400 MW.
• PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW.
Dari total 99 unit PLTU yang berpotensi mengikuti perdagangan karbon, 85 unit merupakan PLTU nonmulut tambang, dan 14 di antaranya merupakan PLTU mulut tambang. Di luar 99 ini, akan terdapat peserta yang dapat berpartisipasi pada perdagangan karbon melalui mekanisme offside.
"Yaitu pelaku usaha pembangkit energi baru terbarukan, dan pelaku usaha yang melakukan kegiatan aksi mitigasi di sektor energi," katanya.
Baca juga: Raih Kontrak Baru Rp1,53 Triliun, WSBP Lebih Selektif Mencari Proyek
Untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik, Jisman menerangkan bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban yang harus dipenuhi.
Ini meliputi penyampaian rencana monitoring emisi gas rumah kaca pembangkit tenaga listrik, penyampaian laporan tingkat emisi gas rumah kaca melalui aplikasi Apple-Gatrik, serta pencatatan dan pelaporan hasil pelaksanakan perdagangan karbon.
Nantinya, perdagangan karbon akan diselenggarakan secara langsung dan melalui bursa. Kerja sama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) turut akan dilakukan, dan saat ini infratsruktur pendukungnya sedang disiapkan.
Seperti diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara yang menyetujui Paris Agreement. Salah satu komitmen utamanya, yakni dalam menjaga kenaikan suhu bumi rata-rata tidak mencapai dua derajat celcius, serta menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.