Jakarta, Gatra.com - ROH Galeri, Jakarta, menampilkan pameran bertajuk “murmur”. Pameran ini menampilkan sejumlah seniman multidisiplin dari berbagai bagian di Asia seperti Thailand, Filipina, Hong Kong, dan Indonesia. Pameran ini diproduksi atas kerjasama dengan Bangkok CityCity Gallery, Nova Contemporary, dan Silverlens Galleries dan dibuka untuk umum mulai tanggal 2 hingga 25 Juni 2023.
Perwakilan pihak ROH Galeri, Adinda Yuwono, mengatakan bahwa istilah murmur yang digunakan di pameran ini, dalam bahasa Inggris dianggap sebagai sejenis onomatope, yaitu kata yang secara fonetik mengisyaratkan bunyi yang diciptakannya. Karakter linguistik inilah yang kemudian menjadi kerangka untuk memahami pameran lebih jauh.
Baca Juga: Aditya Novali Merangkai Kenangan dan Realitas dalam Pameran di ROH Galeri
Adapun dalam bahasa Indonesia, kata mur berarti sebuah besi berbentuk heksagonal berlubang yang kerap dipasangkan dengan baut untuk mengencangkan berbagai komposisi mesin atau sistem industrial. Menariknya, ketika kata mur diulang dua kali dengan membubuhkan tanda penghubung diantaranya, mur-mur, bentuk ini menjadikannya jamak.
“Ada keinginan untuk memberi bentuk pada hal-hal tak berbentuk dan tak terucapkan dengan kata-kata, serta gagasan memahami karya seni sebagaimana kita memahami sebuah kata dalam berbagai bahasa berbeda,” ucap Adinda di ROH Galeri, Sabtu (27/5).
Dengan kata lain, melalui petunjuk utilitarian dan linguistik ini, ada dua kemungkinan menafsirkan pameran untuk lebih baik memahami maksud para seniman dalam karya- karyanya, serta memunculkan percakapan antara satu karya dengan yang lain.
Pameran Murmur memuat karya-karya dari Agung Kurniawan (Indonesia), Aracha Cholitgul (Thailand), Bagus Pandega (Indonesia), Banny Jayanata (Indonesia), Dusadee Huntrakul (Thailand), dan Faisal Habibi (Indonesia). Ada juga karya dari Gary-Ross Pastrana (Filipina), Nadya Jiwa (Jerman), Pratchaya Phinthong (Thailand), Tromarama (Indonesia), dan Tsang Kin-Wah (China).
Palindrom hingga Pakaian Penyintas Tragedi 65
Presentasi pameran dimulai dari karya Pratchaya Phinthong yang menampilkan karya “Untitled”. Karya ini berupa dua kertas bertuliskan judul buku “The Image of the Future” karya Fred Polak’s dan buku karya Jacques Ranciére’s “The Future of the Image”. Dua judul tersebut sekilas tampak seperti palindrom, tetapi sebenarnya bukan. Meski begitu, secara konseptual mungkin lebih seperti palindrom daripada banyak palindrom lainnya.
Masuk sedikit ke dalam ruang pamer, ada seri The A Tea Poi on Moo (2016) karya Bagus Pandega yang menjadi semacam mitra konseptual dengan karya Pratchaya. Dengan cara yang mirip dengan Polak dan Ranciére yang membalik kata-kata yang berbeda di masing-masing judul buku mereka.
Dalam karya Pandega, karya instalasi itu menampilkan sederetan pemutar rekaman yang mengekspresikan animasi mulut bergerak yang memberi kesan bahwa itu adalah mulut sedang berbicara. Namun, kata-kata yang tersirat dalam karya ini sama sekali tidak berbentuk, baik melalui kata-kata tertulis, atau melalui referensi pendengaran. Tiga orang yang direkam suaranya dalam karya tersebut adalah para tunawisma yang berjuang untuk memenuhi kebutuhannya hidup di jalanan Bandung.
Di presentasi karya lain, Dusadee Huntrakul terus mengembangkan praktik pembuatan keramik. Karya-karya tersebut berperan sebagai sarana yang digunakan Huntrakul untuk menghubungkan momen-momen yang berbeda dalam waktu. Dia menggunakan karyanya sebagai titik acuan—patung dinosaurus kecil, telur anonim, benda terbang tak dikenal, serta pembuatan ulang kerang yang halus dan kotoran tokek yang juga terbuat dari keramik.
Ada juga karya berjudul Holy Chamber (2023) yang mengandung aspek memori dan masa lalu secara substansial. Ini adalah karya Agung Kurniawan yang secara konsisten tertarik pada peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tragedi 1965. Dia mengumpulkan pakaian yang telah disumbangkan kepadanya oleh orang-orang yang selamat dari tragedi tersebut.
Baca Juga: Seni Instalasi Lego di Pameran Lego Nusantara Artina.Sarinah
Agung Kurniawan menyusun kembali pakaian ini menjadi bentuk instalasi yang lebih arsitektural yang dapat dimasuki oleh pengunjung. Bentuknya seperti bilik pengakuan dosa. Instalasi tersebut seakan menunjukkan gagasan tentang bagaimana gumaman juga dapat diungkapkan melalui sarana selain bahasa.
Jika Agung Kurniawan melihat ke arah masa lalu, Faisal Habibi melihat ke masa depan dari perspektif pertimbangan ekologis. Di dua karyanya, baik dalam Mind the Gap (2015) maupun Forged by Heat (2023), Habibi menyusun kembali produk limbah menjadi bahan untuk mengembangkan patung abstrak. Dia mempertimbangkan kembali besi tua dari bengkel serta bahan limbah plastik sebagai bagian integral dari karyanya.
Adapun Aracha Cholitgul, Banny Jayanata, dan Nadya Jiwa bersama-sama menghadirkan aspek fiksi yang lebih naratif melalui karya lukisan dan komposisinya masing-masing. Sekali lagi, karya-karya ini tidak memberikan petunjuk yang jelas tentang asal usul waktu dalam karya-karyanya—seolah-olah karya tersebut tidak, atau tidak harus, datang dari masa kini.
Seperti yang tertulis dalam katalog pameran: “Pertimbangan mereka masing-masing tentang seni lukis dan gambar sebagai medium lagi-lagi sulit untuk dituangkan dalam kata-kata, dan mungkin gagasan gumaman yang diwakilinya ini dituangkan dengan cara onomatope”.