Yogyakarta, Gatra.com - Festival seni tahunan di Yogyakarta, ARTJOG, berdampak luas bukan hanya pada dunia seni. Selama ARTJOG digelar, tingkat pembelanjaan pengunjung luar DIY meningkat 3-4 kali lipat. Selain itu, selama gelaran ARTJOG rata-rata durasi tinggal wisatawan Nusantara di DIY meningkat dua kali lipat, dari 2,01 hari menjadi 4,08 hari.
Penyelenggaraan ARTJOG yang membanderol tiket Rp75 ribu ini memiliki dampak ekonomi hingga Rp3,4 triliun atau sekitar 2,28 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY pada 2021. Hal itu merupakan hasil studi Ike Janita Dewi dan Tri Subagya yang mengemuka dalam jumpa pers ARTJOG 2023 di Yogyakarta, Kamis (22/6).
Selama pandemi, pameran ini digelar secara terbatas. Tahun ini, penyelenggara siap-siap menerima limpahan kreativitas. "Kita dipaksa berlari usai pandemi menghadapi keliaran para seniman," ujar penggagas ARTJOG Heri Pemad.
Ia menjelaskan, ARTIOG memiliki peran penting sebagai sarana pendidikan budaya secara populer serta sebagai ruang diplomasi budaya. Selain itu, ARTIOG juga menjadi katalisator dalam mengembangkan aspek pariwisata berbasis seni.
"ARTJOG pun berkontribusi dalam peningkatan ekonomi DIY baik dalam kenaikan jumiah dan lama tinggal pengunjung di hotel-hotel maupun naiknya angka pembelanjaan pengunjung selama pelaksanaan ARTJOG," tuturnya.
Tahun ini, ARTJOG 2023 kembali digelar di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, mulai 30 Juni hingga 27 Agustus 2023. Mengusung tema "Motif: Lamaran", pameran ini melibatkan 73 seniman yang terdiri dari 51 seniman dewasa dari jalur undangan dan panggilan terbuka, serta 22 seniman anak.
"Tema "Motif: Lamaran" dipilih sebagai landasan dalam merajut ide dan pola karya seniman sekaligus mengajak mereka untuk mengungkapkan gagasan dan motivasi di balik karya," kata kurator Hendro Wiyanto.
Selain itu, tim kuratorial ARTIOG 2023 juga mengajak seniman muda pendaftar untuk memahami unsur-unsur sejarah tekstual Indonesia melalui tiga karya kanon Indonesia: "Laut" (1967) karya Sanento Yuliman, "Abracadabra" (1974) karya Danarto, dan "Misteri" (1983) karya Toeti Heraty.
Dalam gelaran tahun ini, ARTIOG mengundang seniman Mella Jaarsma dalam program Commissioned Artist. Di karya ini, sebuab bangunan limasan disiapkan untuk menaungi karya-karya Mella selama 30 tahun berkarya sebagai ruang kontemplasi atas persoalan identitas, polarisasi, dan pakaian.
"Kita angkat arsitektur Jawa dan ide tentang bangunan fleksibel yang bisa dipindah dari desa ke kota hingga ide ini berkembang," papar Mella.
Selain Mella, beberapa seniman seperti Novi Kristinawati, Ugo Untoro, dan Dicky Tandare juga turut memeriahkan ARTJOG tahun ini. ARTJOG Kids juga kembali digelar untuk memfasilitasi karya dan aktivitas anak-anak serta menempatkan karya mereka bersama karya seniman profesional.
Selain itu, tahun ini ARTJOG menghadirkan Pusat Layanan Disabilitas (PLD) untuk memperluas akses bagi penyandang disabilitas untuk menikmati dan berpartisipasi.
Untuk pembuka pameran, pertunjukan dari Teater Garasi bertajuk "Waktu Batu: Rumah yang Terbakar" akan dipentaskan. Karya ini merupakan pertunjukan silang-media tentang duka ekologis yang menajam menjadi murka ekologis.
"Kami menggarap ulang Waktu Batu sebagai bagian proyek panjang dalam versi baru bersama seniman muda yang dulu nonton Waktu Batu masih SD dan memanggil saya om," kata sutradara Garasi, Yudi Ahmad Tajudin.