Jakarta, Gatra.com - ROH Galeri menampilkan pameran “Cut The Mountain and Let It Fly” sebagai pameran tunggal seniman asal Yogyakarta, Eko Nugroho. Pameran ini diadakan sejak 16 Juli hingga 13 Agustus 2023.
Judul pameran: Cut The Mountain And Let It Fly, mengacu pada karya mural terbesar yang pernah dibuat Eko Nugroho pada tahun 2009 untuk Biennale de Lyon ke-10:The Spectacle of the Everyday. Karya mural di Lyon, Prancis, ini menggambarkan lanskap gunung melayang yang dibelah menjadi dua.
Baca Juga: Tafsir Utilitarian dan Linguistik di Pameran Murmur ROH Galeri
Dalam konteks lokal, gambaran ini dapat dilihat sebagai kritik jenaka tradisi Mooi Indie, suatu gaya visual khas Indonesia yang telah ada sejak masa penjajahan. Adapun pada pameran kali ini, teks “Cut The Mountain And Let It Fly” dicetak pada kaos yang dikenakan seorang figur patung lelaki di karya “Everyone Building Hope”, seakan mengisyaratkan bahwa tradisi itu sudah berlalu.
“Sebagian besar karya-karya di pameran ini dibuat lima tahun terakhir. Karyanya banyak berbicara tentang kompleksitas situasi politik dan budaya di Indonesia sebagai negara demokrasi yang masih berkembang, namun juga menyentuh naluri kita sebagai manusia,” kata Relations Manager ROH Galeri, Adinda Yuwono, Sabtu (15/7).
Eko Nugroho adalah seniman kontemporer Indonesia yang cukup ternama. Ia adalah bagian dari generasi yang tumbuh dan matang dalam periode reformasi pada masa puncak krisis finansial Asia 1997 juga turut menyaksikan jatuhnya rezim Soeharto serta transisi menuju demokrasi di Indonesia.
Karya-karya Eko Nugroho mengakar pada tradisi lokal dan budaya populer dunia juga merangkul erat budaya di dekatnya. Tafsir sosio-politiknya seringkali kritis namun jenaka.
Pada tahun 2000, Eko Nugroho mendirikan Daging Tumbuh, sebuah inisiatif zine kolaborasi yang mengundang partisipasi khalayak non-seni. Selain gambar dan lukisan, ia juga bekerja dalam berbagai media, mulai dari mural, patung, animasi, hingga bordir.
Baca Juga: “Somewhere, Elsewhere, Nowhere”, Pameran Survei Besar Duo Aquilizan
Salah satu karya terbaru Eko Nugroho yang ditampilkan di pameran tunggalnya kali ini adalah seri karya “Half Hero Half Stone” yang terdiri dari dua belas patung pankromatik berwarna mencolok. Masing-masing patung mengambil wujud berbagai figur yang pernah diciptakan Eko sejak awal karirnya.
“Di karya ini kita bicara idealisme yang juga menjadi realisme. Di satu sisi, pahlawan bisa menjadi penjahat di sisi lainnya. Ketika kita bicara tentang keadilan, misalnya, di sisi lain itu menjadi terasa tidak adil. Hal-hal yang menjadi idealisme di salah satu titik, bisa menjadi realitas di titik yang lain lagi,” kata Eko Nugroho saat dijumpai di ROH Galeri, Sabtu lalu.
Karya baru Eko Nugroho lainnya adalah “We Are Human”, patung spesifik-situs berskala monumental berupa robot berbentuk bola dengan lima kaki. Pulasan patina yang digunakan menandakan bagaimana robot ini telah melalui suatu masa sukar.
Di sekelilingnya, sejumlah pasangan mata mengintip dari tubuh robot, menyinggung tentang keadaan hari ini yang memungkinkan kita mengkonsumsi berbagai hal sekaligus melalui segala kemajuan media sosial.
Lalu, ada karya mural “Cut The Mountain And Let It Fly #2” yang melatari We Are Human. Karya ini dibuat secara spontan oleh Eko Nugroho untuk merespons ruangan ROH Galeri. Mural tersebut menggambarkan sosok-sosok setinggi gunung seolah sedang beraksi dalam suatu pertengkaran, mengacu pada bagaimana istilah “cut” dapat juga diartikan sebagai suatu bentuk penyerangan.
Eko juga membuat enam patung seukuran manusia yang disebar di seluruh ruang pamer. Pada karya tersebut ia membicarakan topik seputar relasi kuasa yang dialami pekerja yang dapat lebih jauh dimaknai sebagai bentuk perbudakan.
“Ini pemandangan yang sebenarnya biasa terlihat di kota-kota besar seperti Jakarta. Tentang bagaimana kehidupan para pekerja,” jelas Eko.
Di satu sudut, ada karya bordir berjudul “Tak Ada Mati” yang dikomisi oleh penulis Eka Kurniawan untuk kumpulan cerita pendeknya yang diterbitkan pada 2018. Karya tersebut menggambarkan dua figur dengan identitas kabur berinteraksi satu dengan yang lain.
Pada pameran ini, secara umum tidak diketahui dengan jelas siapa yang baik dan yang jahat, juga apa yang benar dan yang salah. Alih-alih mencari sosok si jahat atau si benar, pengunjung diajak untuk berjumpa, merasa, dan menimbang sendiri relasi dirinya dengan berbagai dunia di luar sana.