Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan, pemerintah pusat dan daerah harus segera membuat perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi untuk mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batu bara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU.
Fabby dalam keterangan pers diterima pada Rabu (6/9), menyampaikan, ini merupakan hasil dari laporan terbaru pihaknya dari hasil studi potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batu bara di Indonesia.
Laporan berjudul “Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim” dari lembaga think tank terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang berbasis di Jakarta, Indonesia, ini menyatakan, harus membuat rencana selain dampak PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari negara-negara yang jadi tujuan ekspor batu bara selama ini.
IESR merekomendasi pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batu bara dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batu bara tersebut.
Studi ini mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batu bara dan program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi, serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.
DBH batu bara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.
“Perencanaan transformasi ekonomi pascatambang batu bara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal,” ujarnya.
Selain itu, kata Fabby, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batu bara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro.
Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batu bara rata-rata menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.
Periset utama kajian tersebut yang juga Manajer Riset IESR, Julius Christian, menyampaikan, selain itu, industri pertambangan batu bara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya.
“Misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” kata Julius.
Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batu bara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam.
“Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batu bara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.
Namun menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batu bara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batu bara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain.
Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.
IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batu bara memerlukan beberapa hal.
Pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan.
Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya.
“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batu bara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.