Jakarta, Gatra.com - Museum MACAN akan mengadakan pameran grup besar yang melibatkan 24 perupa dari lintas Asia-Pasifik. Pameran bertajuk “Voice Against Reason” ini akan dibuka untuk publik pada tanggal 18 November 2023 dan melibatkan perupa dari Australia, Bangladesh, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Dalam keterangan yang diterima, dikatakan bahwa pameran “Voice Against Reason” menghadirkan karya-karya komisi terbaru, proyek terkini dari perupa ternama, dan karya-karya kontemporer yang mengangkat dialog sejarah seni dari periode modern Indonesia. Secara umum, pameran ini merajut realitas yang sementara dan rapuh, yang terhubung dengan narasi-narasi pribadi, konteks sejarah, dan tema-tema politik, serta geografi. Semua melalui sudut para perupa kontemporer terkemuka.
Baca Juga: Museum MACAN dan Ikon Gallery Rilis Publikasi tentang Melati Suryodarmo
Lebih dari sekadar pameran, “Voice Against Reason” adalah sebuah proyek yang dilengkapi dengan rangkaian diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program publik. Rangkaian acara ini direncanakan akan berlangsung sepanjang periode pameran, serta dirancang untuk memperdalam keterlibatan audiens dengan karya seni dan tema-tema yang digagas. Acara diselenggarakan oleh tim Kuratorial dan Edukasi Museum MACAN, dengan dukungan ko-kuratorial dari Putra Hidayatullah dan Rizki Lazuardi.
Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto, berkata bahwa selama lebih dari 12 bulan pihaknya telah bekerja sama dengan para perupa dalam mengembangkan dan mengkomisi sejumlah karya baru berupa instalasi, video, dan performans. Karya-karya tersebut akan dipamerkan bersamaan dengan karya-karya besar oleh para perupa dari seluruh regional Asia.
“Voice Against Reason digagas tidak hanya sebagai sebuah pameran, namun sebagai sebuah wadah keterlibatan yang dinamis antara perupa, karya, dan pengunjung, yang diaktivasi melalui wicara, kuliah umum, dan presentasi selama periode pameran berlangsung,” kata Aaron Seeto.
Sejumlah proyek yang jadi sorotan di antaranya “Jumaadi dan Shadow Factory, Kisah di Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang (2023)”. Pertunjukan wayang kulit eksperimental berskala besar ini akan ditampilkan secara terbatas pada tanggal 18-26 November 2023. Pertunjukan ini memadukan puisi, musik, dan seni untuk menciptakan eksplorasi akan keindahan dan kelangsungan hidup.
Baca Juga: Sepilihan Koleksi Museum MACAN, dari Raden Saleh hingga Walter Spies
Kisah di Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang (2023) menceritakan kisah yang mengagumkan dari 823 aktivis Nasionalis Indonesia yang diasingkan ke Boven Digoel, Papua pada tahun 1926 dan kemudian ke Australia pada tahun 1942 oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam menghadapi kesulitan, mereka beralih ke musik dan seni sebagai sarana untuk bertahan hidup.
Alih-alih membangun rumah dengan tiga kilogram paku yang diberikan oleh Belanda, mereka justru melebur paku-paku tersebut untuk membuat gamelan. Kisah mereka melambangkan hubungan saling ketergantungan antara budaya, keindahan, dan kelangsungan hidup.
Kemudian ada “Shilpa Gupta (l. India. 1976): Threat (2008-2009)”. Pada karya partisipatoris ini, sang perupa menciptakan sebuah dinding batu bata monolitik yang terbuat dari sabun, yang telah diukir dengan kata ‘THREAT’ (ancaman). Gupta mengundang publik untuk membawa pulang sabun ini dan merenungkan makna membersihkan tubuh dengan benda yang sarat dengan konsep ini.
Shilpa Gupta (l. India, 1976) adalah perupa yang berbasis di India yang kerap menantang persepsi audiens dan secara aktif melibatkan pengunjung dalam pengalaman partisipatoris. Karyanya meninjau kembali bagaimana kita mendefinisikan objek, tempat, dan manusia. Ia juga membahas isu-isu kritis yang berkaitan dengan identitas, batas-batas, dan kedaulatan pribadi.
Lalu ada “Ika Arista (l. Indonesia, 1990): Keris Panangko (2022)”. Pada karya ini Ika Arista mempersembahkan sebuah keris yang dikomisi oleh Museum MACAN dengan dukungan dari British Council. Riset Ika tentang warisan budaya senjata tradisional, seperti keris, badik, dan tombak, telah diwariskan secara turun temurun. Di dunia yang didominasi oleh maskulinitas, Ika hadir sebagai salah satu dari sedikit empu (pembuat keris) perempuan.
Terakhir, “Kamruzzaman Shadhin (l. Bangladesh, 1974): Tanpa judul (2023)”. Pada tahun 2001, Shadhin membantu mendirikan Gidree Bawlee Foundation of Arts, sebuah platform advokasi seni untuk komunitas seni di Bangladesh. Ia telah menyelenggarakan proyek-proyek komunitas dan residensi di kampung halamannya di Thakurgaon. Karya dan keterlibatannya dengan masyarakat berfokus pada politik lingkungan, serta tantangan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal.
Shadhin sering melibatkan komunitas lokal Bangladesh dan para pengungsi dalam karyanya. Ia menggabungkan kerajinan tradisional dari tanah kelahirannya, menggunakan kain bekas dan rami untuk mengangkat tema migrasi, keadilan sosial, identitas, dan sejarah lokal. Baginya, pola anyaman goni yang dikepang selalu menyerupai aliran sungai, yang menunjukkan hubungan dengan sejarah dan kenangan masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang tepiannya.