Jakarta, Gatra.com - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, perekonomian Indonesia pada kuartal I-2024 tumbuh sebesar 5,11% secara tahunan atau year on year (yoy). Petumbuhan yang cukup agresif di tengah tingginya ketidakpastian global.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal ini ditopang secara signifikan oleh konsumsi masyarakat. Pada masa kuartal ini ada dua momentum, yaitu lebaran dan pemilihan umum (pemilu).
Dengan momentum ini, kata Ajib Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sejak awal sudah optimis pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan meningkat dibandingkan kuartal akhir 2023 yang menyentuh angka 5,04%. Optimisme pelaku usaha dan pemerintah berbanding lurus dengan hasil yang diumumkan BPS.
“Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah pertumbuhan ekonomi 5,11 persen ini sudah maksimal? Jawabannya adalah belum,” kata Ajib dalam keterangan resmi pada Selasa (7/5).
Menurutnya, hal ini dikarenakan pada rentang kuartal ini terjadi fluktuasi inflasi yang memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Tercatat inflasi kuartal pertama 2024 menyentuh angka 3% secara tahunan atau lebih tinggi daripada inflasi agregat 2023 yang hanya mencapai angka 2,61%.
“Kalau tren inflasi tidak turun, maka daya beli akan terus mengalami tekanan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung tidak sustain,” imbuh Ajib.
Dengan begitu, lanjut Ajib selanjutnya dibutuhkan beberapa insentif yakni insentif moneter, insentif fiskal, maupun regulasi yang pro dengan pertumbuhan dan pro dengan pemerataan.
“Dalam konteks moneter, tingkat suku bunga acuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) sebesar 6,25 persen cenderung tidak ideal dan memerlukan penyesuaian. Tingkat suku bunga tinggi akan mengurangi likuiditas di sistem perekonomian dan juga mendorong cost push inflation,” jelasnya.
Kemudian, dari sisi fiskal, Menurut Ajib pemerintah hanya mempunyai ruang yang sangat terbatas pada tahun 2024 ini untuk bisa menopang daya beli masyarakat, kalau hanya misalnya mengandalkan pola konvensional dengan metode bansos.
“Dengan asumsi makro nilai tukar rupiah 15.000 terhadap US dollar dan juga harga minyak US$ 82 per barel, struktur keuangan negara sudah defisit lebih dari 500 triliun atau setara 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan isu kenaikan tarif PPN awal tahun 2025, juga memberikan tekanan terhadap dunia usaha dan memberikan dampak psikologis naiknya harga barang,” paparnya.
Sedangkan sisi regulasi, harus lebih banyak insentif terhadap industri padat karya. Hal ini dilakukan karena, secara alamiah, investasi yang terus mengalir cenderung investasi padat modal. Sehingga pencapaian investasi yang selalu over target sejak tahun 2019, tidak diiringi dengan penyerapan tenaga kerja. Dari target penyerapan 3 juta tenaga kerja, pada tahun 2023 hanya mampu menyerap 1,8 juta.
Selain faktor moneter, fiskal dan regulasi, pemerintah juga harus melakukan program prioritas hilirisasi yang melibatkan lebih banyak stakeholder dan pelaku ekonomi nasional. Program hilirisasi ini akan memberikan daya ungkit ekonomi lebih maksimal ketika pemerintah fokus dengan sektor pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
Adapun, program hilirisasi yang menjadi bagian komitmen presiden Jokowi sebagai bagian transformasi ekonomi, harus lebih dikembangkan di era pemerintahan selanjutnya.
“Kalau pemerintah fokus dengan 4 (empat) hal tersebut, maka pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2024 akan terus tereskalasi dan sampai akhir tahun bisa mencapai target secara agregat sebesar 5,2 persen. Tetapi, ketika pemerintah tidak memberikan insentif yang tepat sasaran, pertumbuhan ekonomi akan mencapai di bawah target, sesuai yang tertuang dalam proyeksi Kerangka Ekonomi Makro,” pungkasnya.