Jakarta, Gatra.com - Keterbatasan pemerintah dalam menanggulangi dana operasional perguruan tinggi menjadi salah satu latar belakang meningkatnya nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang belakangan menjadi sorotan.
Plt. Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbudristek, Tjitjik Srie Tjahjandarie mengungkapkan, hingga saat ini pemerintah baru bisa menutupi tanggungan operasional perguruan tinggi sebesar 30% dari total biaya operasional. Bantuan itu dikucurkan melalui skema dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).
Sementara sisa 70% nya, perguruan tinggi menggantungkan harapan terhadap pendanaan pendidikan melalui UKT maupun Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Meski begitu Tjitjik pun mewanti-wanti agar kampus tak menjadikan biaya kuliah sebagai sumber pendapatan utama kampus.
Salah satu yang bisa dimanfaatkan bagi kampus PTN Badan Layanan Umum (BLU) maupun PTN Berbadan Hukum (BH) adalah mengoptimalkan pengelolaan aset sebagai utilitas utama.
“Supaya kampus bisa menambah pendapatan diluar UKT dan IPI,” jelas Tjitjik dalam taklimat media di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Rabu (15/5).
Upaya lain untuk menanggulangi persoalan biaya UKT adalah mengedepankan skema UKT berkeadilan. Tjitjik bilang, UKT berkeadilan memiliki pendekatan gotong royong, yang artinya calon mahasiswa yang tidak mampu akan mendapat besaran UKT yang rendah, sedangkan bagi yang mampu akan diberikan nominal UKT yang sesuai dengan kemampuannya.
Skema ini menurut Tjitjik, tepat diimplementasikan di tanah air mengingat kemampuan ekonomi masyarakat jika dilihat dengan perhitungan pendapatan penghidupan, masih rendah. Kesenjangan ekonomi antara masyarakat pun, masih memiliki jurang yang cukup besar.
“Profil kependudukan yang ada di Indonesia dimana indeks perbedaan antara yang kaya dan miskin Indonesia itu sangat tinggi, maka UKT berkeadilan sangat tepat diterapkan,” beber dia.
Disamping itu, Tjitjik juga menegaskan bahwa pemerintah masih memprioritaskan pendanaan pendidikan untuk diimplementasikan dalam program wajib belajar 12 tahun. Sedangkan jika menilik posisi pendidikan tinggi sebagai tertiary education atau pendidikan tingkat ketiga, pendidikan tinggi belum masuk sebagai kelompok pendidikan yang diberikan prioritas pendanaan.
Sehingga, Tjitjik memandang keberadaan biaya kuliah lewat bentuk UKT menjadi sebuah konsekuensi saat lingkup pendidikan tinggi saat ini masih belum masuk dalam skema wajib belajar yang diprioritaskan oleh Undang-Undang.
“Jadi pendidikan tinggi sifatnya pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri, masuk perguruan tinggi. Bukan wajib berbeda dengan wajib belajar yang SD, SMP, SMA,” tegas dia.