Home Gaya Hidup Menyingkap Ego dan Kesadaran di Pameran Agus Suwage dan Nadya Jiwa

Menyingkap Ego dan Kesadaran di Pameran Agus Suwage dan Nadya Jiwa

Jakarta, Gatra.com - ROH Galeri menghadirkan “Ziggurat dan Sadar”, dwipameran tunggal yang menampilkan karya-karya Agus Suwage di Galeri Orange dan Nadya Jiwa di Galeri Apple. Ini adalah pameran tunggal pertama dari kedua seniman bersama ROH galeri.

Judul pameran bagian Agus Suwage, “Ziggurat”, mengingatkan pada monumen besar yang dibangun di lembah Mesopotamia Kuno. Bangunan ini berbentuk piramida berundak yang tersusun atas kisah atau tingkatan. Kata ziggurat sendiri berasal dari bahasa Asyur Kuno, ziqqurratum, yang artinya tinggi atau puncak.

Pameran dilandaskan pada karya Agus Suwage berjudul “Monumen Ego”. Ini adalah sebuah instalasi patung monolitik setinggi 5,5 meter yang dibangun melalui konstruksi balok-balok panel seng, yang kerap digunakan pada karya-karya sebelumnya. Pada bagian atasnya ada semacam emulsi emas yang mengaliri bagian atas Monumen Ego yang kemudian tampak turun ke bawah.

Baca Juga: Pameran di Jagad Gallery, Melampaui Elastisitas: Karet dan Realitas Sosial

Karya ini dilengkapi dengan studi yang menyertainya berupa 12 karya di atas kertas yang menggambarkan potret diri si seniman dalam skala dan hubungannya terhadap patung dalam berbagai permutasi.

“Ego itu setiap orang punya, tinggal bagaimana kita mengatasinya. Ego kalau dibiarkan akan semakin besar dan mengerucut sampai mungkin mengalahkan diri sendiri. Sebenarnya [permasalahan di karya ini] lebih ke personal saya. Tapi digambarkan dalam bentuk yang masif, monumental,” ucap Agus Suwage ketika ditemui di ROH Galeri, Sabtu (18/5).

Pigmen emas di atas Monumen Ego itu kemudian seakan melampaui batas instalasi dan menjadi bahan dasar bagi Agus Suwage untuk mengembangkan karya-karya barunya yang lain yang berada di sekitaran Monumen Ego: Karya-karya lukis yang secara umum memiliki karakteristik warna yang menyatukan sari tembakau dengan lembaran emas.

Karya Agus Suwage berjudul "Frida" di ROH Galeri (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Agus Suwage memang memiliki ketertarikan terhadap penggunaan emas sebagai simbol yang “agung”, atau setidaknya ornamentasi pada suatu hal tertentu yang ingin ditonjolkan. Dia juga melihat emas seperti “api, atau luka”, dan ini mengajak pengunjung pameran untuk memahami pigmen emas yang menetes di permukaan atas instalasi sebagai darah yang menetes. Dalam arti lain, simbol emas ini, yang awalnya adalah simbol keangkuhan dan kebanggaan, gagasannya bisa dipertimbangkan dengan cara yang berbeda.

Lihat saja misalnya di salah satu karya Agus Suwage yang menampilkan gambaran kematian tokoh dalam Mahabarata, Bisma, yang terkena banyak panah. Gambaran senjata ini diubah menjadi figur bunga-bunga yang digambarkan dengan warna emas yang berkilau. Emas menjadi metafora untuk hal transendental, sebagai jembatan yang dengannya seseorang dapat hanyut dari tanah dalam kematian menuju keadaan yang lebih tinggi.

Kehadiran emas pun menjadi simbol toleransi, salah satunya untuk menunjukkan dukungan sang seniman terhadap feminisme, yang dicontohkan melalui perjalanan pribadi Frida Kahlo, atau luka-luka tubuh yang diambil dari referensi Kristiani terkait dengan penyaliban. Emas pun hadir sebagai jembatan antara sang seniman dan Joseph Beuys, yang membangkitkan gagasan bahwa “setiap manusia adalah seniman”. Dalam hal ini semacam memberikan martabat dan nilai yang setara, serta potensi kreatif yang ada dalam diri setiap manusia.

Nadya Jiwa dan Kesadaran yang Terbentuk dari Lapis Identitas

Pada bagian pameran Nadya Jiwa, Sadar, galeri ROH mengumpulkan sejumlah lukisan karya Nadya Jiwa beberapa tahun terakhir yang mengandung pertimbangan tematik dan estetika tertentu yang belum pernah ditampilkan secara bersamaan dalam satu presentasi.

Pada esai pengiring pameran yang ditulis oleh Alia Swastika, dikatakan bahwa judul sadar menjadi pemantik untuk melihat bagaimana praktik berkesenian adalah proses yang kompleks berkait dengan kesadaran dan persepsi atas realitas; bagaimana Nadya mengolah apa yang tampak dan tak tampak, dan hal-hal yang acap berada di luar bahasa.

Nadya Jiwa adalah bagian dari generasi seniman yang mengalami langsung terpaan-terpaan visual keseharian yang sedemikian derasnya, melalui reka digital dan pertumbuhan beragam teknologi baru. Persentuhannya dengan dunia seni, yang telah berlangsung sejak belia –karena ia lahir dari keluarga seniman– membuatnya sejak awal telah dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa guna atau makna seni bagi masyarakat hari ini.

Salah satu karya lukis Nadya Jiwa di ROH Galeri (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Alia menuliskan bahwa dalam “Sadar”, Nadya memunculkan sensitivitas dan sensibilitas yang terbentuk dari lapis identitasnya yang beragam: sebagai perempuan, sebagai orang Sunda, sebagai bagian dari generasi masa kini dengan kompleksitasnya, sebagai seniman yang melihat realitas dengan cara yang berbeda.

Nadya Jiwa juga mengolah persentuhannya dengan narasi keseharian dan referensinya dari budaya populer, mulai dari buku cerita masa kecilnya, lagu-lagu, film dan sebagainya. Beberapa karyanya mengambil inspirasi dari industri budaya pop, misalnya serial televisi yang cukup terkenal, sehingga ada petunjuk visual untuk memahami karyanya.

Baca Juga: Kertas yang Tak Hanya Ringan: Pameran “Unbearable Lightness” di ROH Galeri

Sementara beberapa karya lain justru berangkat dari narasi lokal yang berada dalam lapis mitos dan cerita nenek moyang, seperti Cipamali dan Dayang Sumbi. Dalam pencariannya atas makna mitos dan legenda lokal seperti ini, Nadya Jiwa memang melihat bagaimana jejak spiritualitas masyarakat sangat bergantung pada kepercayaan mereka terhadap mitologi.

“Nadya Jiwa menghadirkan tidak saja perasaan dan peristiwa yang tersembunyi dari ingatan kita, tetapi juga mengkonfrontasi kita pada narasi yang acap kita hindari. Bagaimana kita dapat membayangkan bahwa emosi, atau dunia dalam diri kita bisa digambarkan dalam kanvas? Dan apa makna melihat emosi-emosi itu untuk praksis sosial yang lebih luas?” tulis Alia Swastika.

599