Jakarta, Gatra.com - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto enggan membahas terkait prediksi dari Kementerian ESDM soal harga minyak mentah atau Indonesia Crude Price (ICP) yang akan melonjak hingga US$100 per barel.
“"Pertama kita gak mau bahas kalau, karena kalau dibahas ininya banyak sekali," kata Airlangga dalam Konferensi Pers terkait Perkembangan Isu Perekonomian Terkini di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (18/4).
Meski demikian, menurut Airlangga Pemerintah akan melakukan antisipasi-antisipasi kemungkinan kenaikan harga minyak yang diakibatkan oleh tingginya tensi geopolitik di Timur Tengah antara Iran dan Israel tersebut.
“Antisipasi banyak, antisipasi perubahan-perubahan yang ada tadi, pemerintah memonitor harian atau bulanan dan tentu kita merespons nanti tentu sesuai dengan kejadiannya. Tapi kalau sekarang kejadiannya belum sampai situ maka tentu kita tidak andai-andai," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa, pasca serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4) lalu, harga minyak mentah diperkirakan dapat mencapai US$100 per barel.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, harga tersebut dapat kembali meningkat apabila terjadi eskalasi konflik. Dengan demikian harga minyak diperkirakan dapat mencapai US$120 hingga US$130 per barel.
“Saya katakan tadi sependapat kemungkinan besar harga ICP naik US$100,” kata Tutuka dalam diskusi bertajuk ‘Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi Ri’ secara virtual pada Senin (15/4).
Menurut Tutuka, dari tahun 2024 pada bulan Februari, sebelum terjadinya serangan balasan Iran ke Istael harga minyak mentah sudah mengalami tren kenaikan, sekitar US$5 per barel. “Jadi dengan adanya konflik baru Iran dengan Israel, ini sebetulnya tidak jauh dari angka USD 100 (per barel),” jelasnya.
Lebih lanjut, mengenaik kenaikan harga minyak mentah ini akan berlanjut atau tidak, menurut Tutuka pihaknya atau Pemerintah tengah menunggu respons dari Israel dan Amerika Serikat (AS) terhadap serangan dari Iran tersebut.
“Kemungkinan bisa lebih cenderung untuk spike (berhenti) dalam waktu yang tidak lama,” imbunya.