Home Ekonomi Mengintip 'Para Pemain' di Lahan PTPN V Senama Nenek

Mengintip 'Para Pemain' di Lahan PTPN V Senama Nenek

Pekanbaru, Gatra.com - Rapat terbatas tentang lahan seluas 2.800 hektar di Desa Senama Nenek Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, itu sudah tiga pekan berlalu.

Persis setelah Presiden Jokowi yang memimpin rapat terbatas (ratas) pada Jumat (3/5) itu meminta lahan yang sejak tahun 1994 dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V Pekanbaru itu, diserahkan kepada masyarakat Senama Nenek. Proses penyelesaian penyerahan lahan itupun diberi tenggat; dua bulan harus beres.

Di satu sisi, keputusan Jokowi tadi sangat terkesan pro rakyat. Soalnya setelah berpuluh tahun orang Senama Nenek 'berperang' dengan PTPN V, baru Jokowi lah satu-satunya Presiden yang langsung menyudahi arogansi PTPN V di Senama Nenek tadi.

Di sebut arogansi lantaran selama ini para petinggi di PTPN V selalu dengan lantang mengatakan bahwa lahan 2.800 hektar itu adalah milik PTPN V. Arogansi PTPN V ini malah didukung oleh sederet oknum petinggi di level provinsi Riau.

Mendapat sokongan seperti itu, petinggi PTPN V di level menengah semakin terang-terangan mengatakan bahwa lahan 2.800 hektar itu punya izin lengkap dan PTPN V sah mengelola lahan itu. Begitulah arogansi yang muncul selama bertahun-tahun dan warga Senama Nenek selalu keok.

Tapi setelah Direktur Utama PTPN V dijabat oleh Jatmiko Krisna Santosa, arogansi tadi sontak menghilang.

Pulang dari rapat terbatas, Jatmiko malah tanpa beban menulis di akun instagramnya begini; Keputusan Pemerintah kita diminta mengembalikan kepada Negara, "mengembalikan' karena tanah tersebut memang belum menjadi aset kita dan belum tercatat di buku kita.

"Ini kayak kita dapat pinjaman mobil dan dapat modal lah. Penghasilan dan biaya semua tercatat," kata Jatmiko kepada Gatra.com.

Ungkapan Jatmiko ini sontak saja membikin sederet pertanyaan langsung berjejer. Lagi-lagi apa yang dijawab oleh Jatmiko tadi sangat bertolak belakang dengan jawaban-jawaban para petinggi PTPN V sebelumnya.

Praktisi hukum di Riau, Surya Dharma mengatakan kalau sebenarnya lahan yang dikuasai oleh PTPN V sejak tahun 1994 itu status lahannya Area Peruntukan Lain (APL).

"Saya sudah pernah cek. PTPN V buka lahan itu sejak tahun 1994. Jadi dari persfektif hukum Kehutanan, lahan itu kelir. Lantaran arealnya APL seharusnya PTPN V urus HGU, tapi faktanya sampai saat ini tidak ada HGUnya," ujar aktivis hukum lingkungan ini kepada Gatra.com Kamis (30/5).

Terkait penyerahan oleh Jokowi ke masyarakat kata Surya, itu tidak bisa hanya didasarkan pada perintah lisan, tapi harus ada dasar hukum yang jelas lantaran kebun tadi kekayaan negara.

Presiden kata Surya harus menuangkan perintah itu dalam sebuah Keputusan Presiden supaya dasar mengeluarkan tanah tadi dari aset negara, jelas.

"Status kebun itu kan kekayaan negara yang dipisahkan, oleh karena kebun tersebut milik PTPN V yang statusnya sebagai badan hukum yang harus tunduk pada UU No 40 tahun 2007 tentang PT, maka yang berwenang menyerahkan lahan tadi adalah Direksi dan bukan Presiden," katanya.

Kalau Presiden menyerahkan kebun itu tanpa dasar hukum kata Surya, maka presiden telah melakukan perbuatan sewenang-wenang dan itu melanggar UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah.

"Yang jadi pertanyaan saya sekarang adalah, apakah selama ini kebun itu sudah dimasukkan ke dalam daftar kekayaan negara? Sementara syarat untuk bisa dimasukkan dalam daftar kekayaan negara itu kan harus jelas legalitasnya (HGU), sementara kebun tersebut tidak jelas legalitasnya. Nah jangan-jangan selama ini kebun itu hanya pakai nama PTPN V agar aman dari berbagai masalah tapi hasilnya dinikmati oleh pembesar-pembesar di BUMN atau pejabat negara. Ini harus dikejar, berapa hasil kebun itu setiap bulan dan apakah benar masuk ke negara?" Surya bertanya.

Kalau kebun itu tidak tercatat kata Surya, berarti hasil selama ini siapa yang menikmati? "Kalau lah yang menikmati itu oknum, ini malapetaka, sebab modal membangun kebun itu pakai uang negara," ujarnya.

Surya berharap penegak hukum tidak lengah dalam persoalan PTPN V di Senama Nenek ini. Selain mengawasi siapa yang benar-benar akan mendapat pembagian tanah tadi, penegak hukum juga musti menyusuri kemana duit hasil kebun Senama Nenek itu selama berpuluh tahun dan siapa para petinggi yang menikmati.

 

1936