Home Hukum Pakar Hukum Persoalkan OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan

Pakar Hukum Persoalkan OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan

Jakarta, Gatra.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Chairul Huda, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berhati-hati dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pascaberlakunya UU KPK yang baru Nomor 19 Tahun 2019.

Chairul Huda ketika dihubungi Gatra.com, Senin malam (13/1), mengatakan, harus hati-hati agar proses hukum dalam pemberantasan korupsi tidak melanggar perundang-undangan. Misalnya, persoalan OTT terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, beberapa hari lalu.

Chairul Huda menjelaskan, OTT tidak mungkin bisa dilakukan tanpa ada surat perintah penyadapan, dan surat perintah penyadapan tersebut tidak mungkin jika bukan dalam rangka penyelidikan suatu kasus.

"Nah, surat perintah penyelidikan yang dikeluarkan oleh Pimpinan KPK yang lama, sekaligus ada surat perintah penyadapan itu menjadi tidak sah kalau dihubungkan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019," ujarnya.

Surat perintah penyelidikan dan penyadapan tersebut tidak sah, lanjut Chairul Huda, karena tidak mendapat izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Pasalnya, Dewas belum terbentuk saat surat perintah penyedilikan dan penyadapan itu diterbitkan.

"Jadi OTT itu didasarkan pada suatu proses yang ilegal. Karena didasarkan pada proses penyadapan yang dilakukan tanpa izin Dewas. Oleh karena itu, masalahnya adalah seluruh bukti yang diperoleh karena penyadapan itu tidak bisa digunakan untuk menjadi dasar penetapan tersangka atau OTT tersebut," ujarnya.

Terlebih lagi, kata Chairul Huda, sesuai informasi yang beredar, surat perintah penyelidikan ditandatangani pada tanggal 20 Desember 2019. Tanggal tersebut berbarengan dilantiknya jajaran komisioner baru KPK dan Dewas.

"Kalau tidak salah, tanggal 20 Desember kan pelantikan komisioner yang baru, Dewas juga. Pada hari yang sama pada saat ada pelantikan komisioner yang baru, kok Agus Rahardjo tandatangani surat perintah penyelidikan. Jelas dia sudah tidak berwenang," katanya.

Chairul Huda menilai demikian, karena menurutnya, sesuai UU KPK yang baru bahwa komisioner KPK ini bukan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Mereka hanya sebagai penanggung jawab administratif.

"Bukan penegak hukum, hanya penanggung jawab administratif. Sementara sudah ada pejabat baru yang sudah ditetapkan dan bahkan segera akan dilantik, ya dia enggak berwenang dong menandatangani surat itu," ucapnya.

Proses tersebut menjadikan pimpinan baru KPK harus menerima imbasnya. "Firli dan kawan-kawan di-fait accompli oleh penyelidik dan penyidiknya. Ini mau enggak mau harus meneruskan hasil pekerjaan dari pengurus yang lama, atau komisioner yang lama. Jadi bermasalah," katanya.

Sedangkan saat dimintai tanggapan soal adanya informasi petugas KPK akan melakukan penggeledahan atau penyegelan ruanga kerja Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ketika petugas melakukan rangkaian OTT, Chairul Huda mengatakan, tidak bisa melakukan upaya tersebut.

"Itu dia, kalau itu masih dalam penyelidikan, belum ada upaya paksa. Maka tindakan apapun apakah itu penyegelan, penggeledahan itu tidak dibenarkan dalam penyelidikan," ujarnya.

Ia pun meminta Firli dan kawan-kawan harus mengevaluasi kompetensi dari para penyelidiknya. "Penyelidikan itu bukan projustitia, belum projustitia, masih pulbaket, mana boleh ada upaya paksa seperti penggeledahan," katanya.

Lebih jauh Chairul Huda menjelaskan, sesuai informasi yang beredar bahwa surat persetujuan Dewas KPK untuk melakukan penggeledahan keluar pada Jumat malam. Sementara Jumat pagi, sudah mau menggeledah di PDIP. "Itu jelas sekali tindakan melawan hukum," ujarnya.

Chairul Huda juga menjelaskan bahwa mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) anggota dewan diatur dalam undang-undang tersediri. Jikapun ada surat-menyurat atau dokumen yang ditandatangani terkait itu oleh Sekjen atau petinggi partai, itu sesuai mekanisme dan kewenangan di dalam UU.

"Kok dianggap sebagai motivasi untuk menyuap. Seolah-olah peryataan dari pimpinan KPK ada motivasi oleh orang-orang PDIP, dalam hal ini untuk menyuap. Kan ada tiga surat yang meminta PAW Harun itu," katanya.

"Nah, itu tidak bisa untuk dijadikan dasar adaya motivasi, itu adalah kewenangan mereka menurut UU dan AD/ART partai. Buat apa pak Hasto, sementara itu kewenangannya untuk mengganti PAW karena yang meninggal, itu kan kewenangannya ngapaian nyuap. Kan gitu," ujarnya.

Menurutnya, kalaupun ada permintaan uang terkait ini, namanya pemerasan. "Jadi kalau misalnya orang yang disebut-sebut akan PAW itu melakukan kasak-kusuk itu urusan dia. Secara formal, surat dari partai tidak bisa dijadikan sebagai motivasi untuk menyuap. Prinsipnya begitu dari hukum pidana," ujarnya.

363