Home Hukum Pidana KDRT dan Kekerasan Seksual Perlu Dimuat dalam RKUHP

Pidana KDRT dan Kekerasan Seksual Perlu Dimuat dalam RKUHP

Jakarta, Gatra.com – Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) merekomendasikan agar pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual (KS) dimuat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Peneliti LeIP, Jane Aileen Tedjaseputra, menilai pemuatan pidana KDRT dan KS ke dalam RKUHP penting dilakukan. Terlebih, catatan tahunan Komnas Perempuan 2020 menyebut KDRT dan kekerasan dalam ranah personal konsisten tertinggi selama 10 tahun terakhir.

Pada 2020, komisi tersebut mendokumentasikan sebanyak 6.480 kasus kekerasan. Sekitar 50% di antaranya adalah kekerasan terhadap istri, lalu 20% kasus adalah kekerasan dalam pacaran, serta 15% kasus adalah kekerasan terhadap anak perempuan.

“Kalau kita lihat data itu, upaya memasukkan KDRT bahkan kekerasan seksual ke RKUHP menjadi sangat penting. Hal ini menilik misi penyusunan RKUHP adalah ‘demokratisasi’ dan memasukkan kepentingan korban,” jelas Jane dalam diskusi daring, Rabu (22/12).

Menurut Jane, misi ‘demokratisasi’ mengamanatkan bahwa partisipasi dan perspektif seluruh masyarakat termasuk perempuan mesti tertampung dalam proses penyusunan. Selain itu, juga berperspektif melindungi perempuan dari diskriminasi.

“Syarat yang penting untuk diadopsi adalah non-diskriminasi, transparansi, dan keterbukaan. Sejauh ini, masyarakat menganggap penyusunan RKUHP kurang terbuka dan transparan. Karena misalnya, ada versi-versi yang kami belum dapat begitu,” imbuhnya.

Jane menambahkan, revisi KUHP juga memiliki misi konsolidasi serta adaptasi dan harmonisasi. Karena itu, penyusunan RKUHP perlu menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Kita juga harus melihat perkembangan di bidang ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional, termasuk di antaranya hak asasi manusia,” ungkapnya.

Jane mengatakan, RKUHP juga harus memperjelas pengaturan kriminalisasi aborsi (pengguguran kandungan) dengan mengecualikan korban perkosaan dan inses. Di samping itu, juga ketika kondisi kesehatan ibu hamil tidak memungkinkan.

Pasal 471 ayat (3) RKUHP menyebutkan, 'Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana'.

Namun, Pasal 469 ayat (1) mengatur 'Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun'.

“Saya lihat jelas-jelas timpang, karena pengecualiannya hanya ada di Pasal 471 ayat (3). Tetapi, di Pasal 469 ayat (1) tidak ada pengecualian, semua perempuan yang menggugurkan itu bisa dipidana. Jadi seperti ada paradoks,” jelasnya.


 

307