Jakarta, Gatra - Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, proses sertifikasi dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang memegang peranan itu.
Sebenarnya, ada tiga aktor utama dalam penerbitan sertifikat halal. Mereka adalah BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan MUI. Masing-masing memiliki kewenangan dan tidak bisa saling intervensi.
BPJPH memiliki kewenangan administratif. LPH memiliki kewenangan keilmuan atau saintifik. Sementara MUI di wilayah fatwa agama.
Pelaku usaha daftar untuk mengajukan sertifikasi halal ke BPJPH. Setelahnya, diproses ke LPH sesuai dengan keinginan pelaku usaha. Ada lebih dari 11 LPH, sebut saja di antaranya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Surveyor Indonesia, Brawijaya, dan lainnya.
Tugas LPH melakukan pemeriksaan dan uji sertifikat. Setelah keluar uji pemeriksaan LPH, diserahkan ke MUI untuk diterbitkan fatwa. Proses selesai, data dibawa ke BPJPH lagi untuk diterbitkan sertifikat.
“Makanya, LPH perlu banyak, karena mau melayani puluhan juta pelaku usaha yang tersebar di Indonesia. Kalau LPH cuma tiga atau cuma LPPOM MUI saja nanti sudah kewalahan melayani hasil pemeriksaan atau lab,” kata Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham dalam peluncuran Halal Center Indonesia di Thamrin City, Jakarta Pusat, Selasa (24/5).
Ada dua skema yang ditawarkan. Pertama, pernyataan mandiri atau self declare. Kedua, skema regular. Aqil menerangkan, self declare itu tidak melalui LPH, seperti LPPOM MUI. Mereka melalui pendamping proses produksi halal (PPH) yang direkrut dari unsur masyarakat yang sebelumnya telah lolos pelatihan.
Sementara skema regular itu untuk produk yang dinilai kritis, misalnya mengandung unsur hewan. Aqil menyebut skema ini kerap dijalankan oleh bisnis kelas menengah dan besar. “Itu harus diperiksa dan diuji oleh auditor halal yang ditugaskan oleh LPH masing-masing,” dia menjelaskan.
Prosedur bisa dilakukan secara online. Namun, Aqil tak menampik bahwa para pelaku usaha kerap mengalami kesulitan dalam memproses data. Makanya, BPJPH atau unsur lain seperti pendamping, melakukan pendekatan digitalisasi. Proses pendaftaran hingga terbit sertifikasi bisa menghabiskan waktu 21 hari.
Target Akselarasi 10 Juta Sertifikat Halal
Aqil mengatakan, kewajiban sertifikasi dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024. Produsen makanan, minuman, jasa penyembelih, rumah potong, tukang potong hewan, wajib mendapatkan sertifikat halal.
“Ini sudah jalan hampir tiga tahun, sisa dua tahun. Rentang waktu digunakan untuk sosialisasi, publikasi kepada para pelaku usaha atau lebih cepat lebih baik mendaftarkan produknya untuk dapat sertifikat,” Aqil menjelaskan.
Lalu, tahap kedua 17 Oktober 2021 sampai 17 Oktober 2026 kewajiban untuk obat-obatan kosmetik dan barang gunaan, misalnya barang-barang yang mengandung unsur hewan seperti tas, sepatu, dan lainnya. Kendati begitu, Aqil mengakui banyak pelaku usaha yang belum terkena kewajiban. Namun, ada juga dari mereka yang inisiatif jemput bola untuk mendaftarkan sertifikat karena menyadari ini satu bentuk komitmen yang punya nilai tambah.
“UMK bisa naik kelas ke hypermart, Indomaret, yang tadinya dari pasar tradisional. Kesadaran itu yang mendorong,” dia menerangkan.
BPJPH kini menargetkan akselarasi 10 juta sertifikat halal untuk produk UMK. Ini untuk mengantisipasi ketertinggalan di beberapa negara yang sudah berani memproduksi produk dan jasa halal, meskipun sebenarnya mereka berasal dari negara mayoritas nonmuslim.
“Mereka sudah mau mengekspor produknya ke negara muslim. Supaya kita bisa kompetitif, kita dorong UMK agar produksi bisa bersertifikat halal, ada nilai tambah, daya saing,” kata Aqil.
Dalam catatan yang dikantongi Aqil, sejak proses sertifikasi dipegang oleh MUI pada 2012-2018, atau selama enam tahun, produk bersertifikat baru mencapai 668 ribu. Angka itu baru memenuhi 10% dari pelaku usaha di Indonesia. Ketika otoritas dipindahkan ke BPJPH atau sejak 2019-2022, jumlahnya baru 313 ribu. Jika membaca dua data ini, ada pola data tren tahunan sebesar 100 ribu sertifikat per tahun.
“Kalau mau ikut tren itu, mau berapa tahun mensertifikat 60 juta barang? Katakanlah 10 juta, maka butuh waktu 100 tahun. Kalau 60 juta, ya, enam abad. Makanya perlu akselarasi, bagaimana menyulap itu. Kita butuh kerja bareng, kata Wapres (Maruf Amin) tadi, yang besar nolongin yang kecil,” kata Aqil.
Konteks membantu maksud Aqil adalah dengan menggratiskan, mendampingi dalam mengurus sertifikat halal melalui skema self declare. Perusahaan besar juga bisa menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk bantu UMK binaannya.
Tak hanya itu, pengembangan sertifikasi halal sektor makanan juga bisa menunjang sektor lain, misalnya membangun keuangan syariah, membangun ekosistem pariwisata halal, dan menumbuhkan produk ekspor.
“BPJPH tidak bisa menunggu saja. Kita turun, di sektor produksi kita dorong, sosialisasi, agar mereka mau dan sadar bahwa sertifikasi ini penting. Bukan hanya kepatuhan agama saja, tetapi standar global yang melekat di dalamnya soal kualitas, mutu, higienis,” kata Aqil.