Jakarta, Gatra.com – Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menemukan adanya kekeliruan penahanan dan penolakan dan inkonsistensi pelaksanaan dari border ke post border produk impor hortikultura di antara tiga temuan dan pendapat, dari tertahannya produk impor hortikultura pada 19 September 2022 lalu di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Surat Persetujuan Impor (SPI) produk hortikultura yang dimiliki oleh para pelaku usaha sudah terbit sejak Desember 2021 hingga April 2022.
Sementara Peraturan Menteri Pertanian Nomor 5 Tahun 2022 diundangkan pada 18 Mei 2022, hal itu tertuang dalam Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan “Dugaan Maladministrasi dalam Penahanan dan Penolakan Produk Impor Hortikultura” yang berlangsung secara offline di Gedung Ombudsman RI dan online melalui Zoom Meeting dan siaran resmi YouTube Ombudsman RI, Senin (26/9).
Menurut Ombudsman, bahwa tindakan penahanan yang dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian seharusnya tidak berlaku, kecuali jika terseret dalam perkara-perkara tertentu seperti kejahatan HAM, korupsi dan kejadian luar biasa lainnya.
“Pada intinya sederhana, bahwa SPI yang oleh pedagang, pelaku usaha itu adalah legal. Sudah ada terbit sejak Desember 2021 sampai dengan April 2022. Jadi, barang itu sebetulnya bukan barang ilegal dan Permentan berlaku sejak 18 Mei. Jadi, Ombudsman melihat bahwa sebetulnya tidak berlaku seluruhnya,” kata Yeka.
“Jadi, dan ini juga diperkuat oleh pendapat hukum dari pihak Kementerian Hukum dan HAM yang menegaskan bahwa tindakan penahanan oleh Barantan tidak tepat dilakukan terhadap pemasukan produk hortikultura dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia yang telah mempunyai Surat Persetujuan Impor (SPI) sebelum tanggal 18 Mei 2022,” lanjutnya.
Selanjutnya, Ombudsman menemukan inkonsisitensi pelaksanaan pemeriksaan produk impor hortikultura dari border ke post border. Sejak 2018, terdapat Paket Kebijakan Ekonomi XV yang salah satu pokok kebijakannya adalah penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor melalui pergeseran pengawasan dari border ke post border agar dapat mendukung kelancaran arus barang ekspor impor di pelabuhan.
Kemudian, Komoditas Produk Impor Hortikultura yang dimiliki pelapor merupakan bagian dari barang impor tertentu yang pemeriksaannya harus dilakukan pada post border berdasarkan ketentuan Permendag Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Ombudsman menilai bahwa tindakan pemeriksaan dan penahanan produk impor hortikultura milik pelapor yang dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian di area Pelabuhan tidak sejalan dengan Instruksi Presiden RI dalam Paket Kebijakan Ekonomi XV yang mengamanatkan penyederhanaan tata niaga ekspor impor.
“Dampaknya apa? Kami mencatat ini pemeriksaan basisnya pemeriksaan keterangan. Pada tanggal per tanggal 14, kasus dilaporkan tanggal 9 September. Pada tanggal 14, kami mencatat kerugian akibat biaya penumpukan dan listrik serta demurrage itu Rp3,2 miliar. Itu sampai tanggal 14 September,” ujar Yeka.
"Solusi ada di 20 Desember. Nah, 15 sampai 22 September kami tidak hitung. Nilai barangnya itu sekitar Rp30 miliar dan saya tanya lagi, tapi ini bukan dalam proses pemeriksaan. Sebenarnya berapa kerugian sampai tanggal 22 September diperkirakan mencapai Rp8 miliar. Jadi memang ini harus ditangani secara cepat agar pemeriksaan ini bisa diselesaikan,” tambahnya.