Jakarta, Gatra.com - Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Putu Gede Arya Sumertha Yasa, menyampaikan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif lebih menghadirkan semangat individualis ketimbang menghadirkan iklim musyawarah dalam menghadirkan wakil-wakil rakyat yang kompeten dan mumpuni.
Menurut Putu Gede, fenomena caleg-caleg terpilih lantaran popularitas dan banyaknya uang merupakan realita yang terjadi dan tak dapat dibantah. Sehingga dalam rekrutmen caleg, kemampuan untuk memperjuangkan hak rakyat kerap tidak menjadi ukuran prioritas.
“Bayangkan saja, caleg yang memiliki kualifikasi yang mumpuni dari aspek intelektual selalu kalah dengan caleg yang mengandalkan modal besar. Bahkan ironisnya, dari pemilu ke pemilu, biaya yang dikeluarkan caleg semakin mahal," ujar Putu Gede melalui keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Kamis (5/1).
Bagi Putu Gede, hal ini jauh dengan semangat nilai musyawarah yang dikehendaki oleh pendiri bangsa Indonesia. “Bahkan karena sistem proporsional terbuka menghendaki persaingan sebebas-bebasnya, berdampak pada ruang-ruang perselisihan antar calon legislatif, termasuk di internal Partai semakin mengeras," ujarnya.
Lambat laun, kerapuhan partai-partai politik, menurut Putu Gede, juga dapat terjadi akibat kuatnya modal individu di tubuh partai. Pada akhirnya, kata dia, tujuan dari partai politik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan untuk turut andil dalam pembangunan Negara bisa terhambat.
Diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka untuk terus dipertahankan.