Jakarta, Gatra.com - Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) targetkan Indonesia bebas malaria di tahun 2030. Namun, untuk bisa merealisasikan hal itu, ada satu kendala besar yang harus diurai. Yaitu obat penyakit malaria yang masih harus impor.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi menjelaskan, Indonesia dan dunia masih bergantung pada China dalam pengadaan bahan baku obat malaria.
Kehadiran vaksin R21 yang sudah banyak digunakan di Afrika pun belum bisa didatangkan ke Indonesia. Imran mengatakan, sampai saat ini Kemenkes belum punya rencana untuk mendatangkan vaksin tersebut ke tanah air.
"Kalaupun kita punya anggaran untuk beli, itu barangnya masih diprioritaskan untuk daerah Afrika. Jadi, sekarang ini kita masih mengacu pada rekomendasi dari WHO," ucap Imran dalam diskusi daring pada Selasa (02/5).
Bahan baku obat malaria yang hanya diproduksi di China membuat Indonesia dan dunia bergantung pada negara tirai bambu. Imran pun mengatakan, kondisi dipersulit ketika China dihajar habis-habisan oleh Covid yang membuat banyak pabrik obat tutup.
"Bukan karena kami pilih kasih. Tapi, memang obatnya yang ada itu sedikit di dunia. Jadi, kita perlu memprioritaskan (daerah) mana aja yang perlu diperhatikan," jelas Direktur P2PM Kemenkes.
Ketua Tim kerja penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Republik Indonesia dr Helen Dewi Prameswari juga menjelaskan posisi Indonesia terkait jenis vaksin malaria yang digunakan. Ia mengatakan, Indonesia masih menggunakan vaksin yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu vaksin RTS,S, bukan vaksin R21 dari Oxford.
"Untuk RTS,S sendiri, pada tahun 2021, pada saat vaksin tersebut diluncurkan di Dunia, kami (Kemenkes) sudah merespon," ucap Helen dalam acara diskusi untuk memperingati Hari Malaria Sedunia.
Ia mengatakan, saat itu Menkes langsung bersurat dengan WHO dan GAVI agar Indonesia bisa mendapat jatah vaksin RTS,S. Namun, saat itu, vaksin malaria ini hanya diperuntukkan bagi negara di Afrika, khususnya Kenya, Ghana, dan Malawi.
"Produksinya hanya 15 juta per tahun sedangkan kebutuhan dunia sekitar 100 juta per tahun. Karena 90 persen kasus malaria terjadi di Afrika," jelas Helen.