Home Ekonomi Fraser Institute dan CME: Indonesia Tempati Peringkat 74 di Economic Freedom of The World Report

Fraser Institute dan CME: Indonesia Tempati Peringkat 74 di Economic Freedom of The World Report

Jakarta, Gatra.com - Indonesia menempati peringkat 74 dari 165 negara dalam laporan tahunan Economic Freedom of the World: 2023 (EFW), yang dirilis oleh Center for Market Education bersama Fraser Institute dari Kanada. Peringkat dan penilaian merujuk pada data tahun 2021. Sebelumnya, pada 2020, Indonesia menempati peringkat 75. Oleh karena itu, peringkat Indonesia pada 2021 menunjukkan peningkatan kecil, dengan peringkat kebebasan ekonomi secara keseluruhan naik dari 6,88 pada 2020 menjadi 6,93 pada 2021.

Perubahan peringkat Indonesia mengemuka di tengah perubahan dalam metodologi yang digunakan dalam penyusunan indeks ini. Dengan tidak adanya laporan Doing Business dari Bank Dunia dan Global Competitiveness dari World Economic Forum - dua sumber data penting untuk indeks ini - Fraser Institute kini menggunakan Business Environment Rankings dari Economist Intelligence Unit (EIU). Karena itu, terdapat penyesuaian dalam struktur komponen dan sub-komponen EFW.

Pemutakhiran data menunjukkan peningkatan signifikan dalam peringkat Indonesia pada 2020, dari peringkat 66 menjadi 75. Namun, antara laporan tahun 2022 dan 2023, peringkat Indonesia pada 2020 sebenarnya turun dari 7,09 menjadi 6,88 yang sesungguhnya menunjukkan penurunan relatif peringkat negara-negara lain alih-alih peningkatan kinerja dari Indonesia.

Diluncurkan pertama kali pada 1996, laporan EFW mengukur kebebasan ekonomi yang didefinisikan sebagai kemampuan individu membuat keputusan ekonomi mereka sendiri. Fraser Institute menjabarkan fondasi kebebasan ekonomi meliputi pilihan pribadi, pertukaran sukarela, pasar terbuka, dan hak kepemilikan yang jelas dan dilindungi.

Laporan tersebut mengukur kebebasan ekonomi dengan menganalisa lima area utama, termasuk ukuran pemerintah, struktur hukum dan keamanan hak kepemilikan, akses ke mata uang yang stabil, kebebasan perdagangan internasional, serta regulasi kredit, tenaga kerja, dan bisnis.

Edisi terbaru dari laporan EFW mengemukakan bahwa rata-rata kebebasan ekonomi di tingkat global meningkat dari 6,58 menjadi 6,94 dari tahun 2000 hingga 2019. Pada 2020, peringkat rata-rata global turun menjadi 6,77 dikarenakan pandemi global, dan stagnan di angka tersebut pada tahun 2021. Fraser Institute mencatat bahwa terakhir kali peringkat rata-rata kebebasan ekonomi global sedemikian rendah adalah pada 2009.

Singapura dan Hong Kong kembali menduduki peringkat teratas pada indeks ini, meski Hong Kong untuk pertama kalinya turun dari peringkat teratas sepanjang sejarah indeks ini. Swiss, Selandia Baru, Amerika Serikat, Irlandia, Denmark, Australia, Inggris Raya, dan Kanada melengkapi sepuluh besar peringkat indeks ini.

Sebaliknya, negara-negara dengan peringkat terendah adalah Republik Kongo, Aljazair, Argentina, Libya, Iran, Yaman, Sudan, Suriah, dan Zimbabwe, dengan Venezuela pada peringkat terbawah.

Seperti dikemukakan dalam laporan ini, terdapat korelasi positif antara tingkat kebebasan ekonomi yang tinggi dan kesejahteraan masyarakat. Negara-negara dalam kuartil teratas kebebasan ekonomi memiliki rata-rata GDP per kapita sebesar US$48.569 pada 2021, dibandingkan dengan US$6.324 untuk negara-negara dalam kuartil terbawah.

Selain itu, dalam kuartil teratas, pendapatan rata-rata dari 10% terbawah penduduk adalah US$14.091, dibandingkan dengan US$1.740 dalam kuartil terbawah. Demikian pula dengan tingkat harapan hidup, di mana tingkat harapan hidup mencapai 80,8 tahun dalam kuartil teratas dibandingkan dengan 65,0 tahun dalam kuartil terbawah.

Fraser Institute mengeluarkan laporan EFW secara tahunan bekerja sama dengan Economic Freedom Network, sebuah kelompok lembaga riset dan pendidikan independen yang eksis di hampir 100 negara dan wilayah. Laporan tahun ini disiapkan oleh James Gwartney dari Florida State University serta Robert Lawson dan Ryan Murphy dari Southern Methodist University.

Berikut adalah skor Indonesia dalam komponen kunci kebebasan ekonomi (dari 1 hingga 10 di mana nilai yang lebih besar menunjukkan tingkat kebebasan ekonomi yang lebih tinggi):

Ukuran Pemerintah: Naik menjadi 8,13 dari 7,88 (dalam laporan tahun lalu)

Sistem Hukum dan Hak Milik: Turun menjadi 4,58 dari 4,66

Akses ke Mata Uang yang Stabil: Naik menjadi 9,54 dari 9,53

Kebebasan Perdagangan Internasional: Turun menjadi 6,49 dari 6,55

Regulasi Kredit, Tenaga Kerja, dan Bisnis: Naik menjadi 5,91 dari 5,76

“Angka-angka ini menunjukkan bahwa perbaikan di edisi 2023 dari laporan EFW didorong oleh peningkatan dalam ukuran pemerintah, akses ke mata uang yang stabil, dan regulasi. Namun, kami juga melihat penurunan dalam sistem hukum dan kebebasan perdagangan internasional,” ucap CEO dari CME, Dr. Carmelo Ferlito.

Country Manager, CME Indonesia, Alfian Banjaransari menambahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, Indonesia telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam menjaga agar inflasi tetap terkendali. “Demikian halnya dengan rupiah. Dibandingkan dengan mata uang tetangga, rupiah menunjukkan resilience, berkat rangkaian kebijakan moneter yang cermat. Selain itu, Indonesia juga telah mengendalikan belanja pemerintah, bahkan di tengah maraknya proyek-proyek infrastruktur,” ujar Alfian.

Menurut Alfian, pencapaian tersebut patut diacungi jempol. Seperti disampaikan dalam laporan EFW, ukuran fiskal pemerintah yang kecil tidak serta-merta cukup untuk memastikan kebebasan ekonomi. “Terutama bila kita bandingkan dengan negara-negara lain di Kawasan ASEAN, di mana postur ekonomi Indonesia berbeda dari negara-negara tetangga. Indonesia menempati peringkat di bawah rival-rivalnya di kawasan seperti: Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam bidang sistem hukum dan hak milik, kebebasan perdagangan internasional, dan regulasi,” ujar Alfian.

Dirinya menambahkan, laporan EFW merekomendasikan agar negara-negara fokus kepada indeks-indeks terkait lainnya agar memperoleh pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan. “Jika kita meminjam International Trade Barrier Index, Rule of Law Index, atau Corruption Perceptions Index diantara sumber-sumber lainnya misalnya, kita akan mendapatkan gambaran mengenai masalah-masalah yang senantiasa menghantui Indonesia, terutama dalam konteks kebebasan ekonomi,” katanya.

Menurut Alfian, laporan EFW memberikan informasi berharga mengenai area fokus reformasi ekonomi dan hukum Indonesia. Center for Market Education (CME) adalah kelompok kajian khusus yang berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan Jakarta, Indonesia. Sebagai sebuah institusi akademis dan pendidikan, CME memiliki cita-cita menyebarkan pendekatan yang majemuk sekaligus multidisipliner dalam ekonomi untuk menyebarkan pemahaman akan pentingnya peran pasar.

CME memiliki cabang di Indonesia dan Filipina. Selain inisiatif akademis, CME juga mengadakan seminar, webinar, dan kelas edukasi ekonomi yang menitikberatkan peran pasar. Audiens CME adalah mahasiswa, jurnalis, pebisnis, profesional, serta masyarakat umum yang ingin lebih memahami peran ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

29