Home Mikro S-Commerce dan Perlindungan UMKM: Isu Platform atau Daya Beli?

S-Commerce dan Perlindungan UMKM: Isu Platform atau Daya Beli?

Jakarta, Gatra.com- Sepak Terjang Social-Commerce Media dan banyak diskusi belakangan ini membahas dukungan dan keberatan terkait keberadaan social-commerce yang dinilai merugikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Taburan aneka produk dengan harga sangat murah di social-commerce dituding menjadi penyebab sepinya penjualan produk lokal milik pengusaha UMKM.

Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social-commerce. Hal ini disinyalir berujung pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun ilegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah. 

Baca juga: Mendag Zulkifli: Digitalisasi untuk Perluas Pasar UMKM

Pengamat industri digital, Ignatius Untung menyatakan pro kontra sebenarnya tidaklah perlu. “Transfer data ini dilakukan semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen,” ujarnya dikutip dari keterangan) tertulisnya, Rabu (26/9).

Nah perdebatan terkait seberapa besar pengaruh social-commerce dalam perjalanan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia makin santer. Berkembangnya isu sepinya transaksi di Tanah Abang sebagai salah satu pasar terbesar di Indonesia yang dipengaruhi keberadaan social-commerce.

Lalu benarkah?. Wakil Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia
(idEA), Budi Primawan menegaskan bahwa pihaknya berusaha mendengarkan pendapat dari seluruh pihak terkait, baik dari pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pengamat, hingga pelaku usaha, idEA menggelar focus group discussion (FGD) dengan tema Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital, di Jakarta, Senin (25/9) lalu.

“Sebagai asosiasi, kami berusaha memfasilitasi komunikasi dan ruang untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan lengkap dari berbagai pihak seperti pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pelaku usaha,” kata Budi.

idEA menggelar focus group discussion (FGD) dengan tema Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital, di Jakarta, Senin (25/9) lalu. (GATRA/Dok idEA)

Pentingnya mengikuti perkembangan teknologi menjadi salah satu catatan dalam diskusi ini. Menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Harris Sofyan Hardwin, hal yang dikhawatirkan para pelaku UMKM adalah pemain-pemain besar mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator.

“Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lainnya," kata dia. Di sisi lain, Harris menyatakan, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba
bertransformasi tapi kurang literasi. Banyak juga yang live di Tiktok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal.

Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social commerce.

Sementara itu, Ketua Bidang Business & Development idEA, Mohammad Rosihan menilai yang terjadi bukan semata lantaran adanya peralihan perilaku konsumen ke digital. Ia yang juga pelaku usaha menjelaskan bahwa salah satu penyebab Pasar Tanah Abang sepi adalah menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah.

“Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” tegas dia.

Baca juga: iSeller dan Microsoft Kolaborasi Akselerasi Ekonomi Hijau Lewat Digitalisasi UMKM

Salah satu pelaku usaha yang menggunakan semua kanal digital, Andre, mengatakan memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan social-commerce. “Dengan sistem algoritma yang diberlakukan, penjualan bisa terdongkrak,” lanjutnya.

Andre menjelaskan produk yang ia jual merupakan hasil kerja sama dengan konveksi lokal. Jadi pihaknya juga membantu mendorong penjualan produk dalam negeri.

“Kami menjual dengan keuntungan yang tidak terlalu besar, tapi penjualan bisa banyak. Memang ada insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas," papar dia.

114