Banjarmasin, Gatra.com - Syahdan, akhirnya waktu bertapa Patih Lambung Mangkurat telah habis. Selama 40 hari 40 malam, patih Kerajaan Nagara Dipa itu menyendiri di ruang sunyi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Usai bertapa, entah kenapa, Patih Lambung Mangkurat langsung teringat dengan pujaan hatinya, Putri Junjung Buih yang tinggal di ulakan air (pusaran air) di Sungai Daha --saat ini dikenal dengan Nagara, salahsatu wilayah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan-- Kalimantan Selatan.
Dengan menaiki rakit balarut banyu (mengikuti aliran air), patih yang gagah perkasa itu lamat-lamat mendengar suara merdu perempuan yang merembes dari segumpal buih air.
Perempuan itu tidak lain adalah Putri Junjung Buih yang sangat cantik jelita. Namun sayang, sang putri tidak mau menampakkan wajahnya kepada Patih Lambung Mangkurat yang dipagut rindu memuncak dan mesti harus bersampuk.
Hanya suara merdu yang terdengar di telinga Lambung Mangkurat. "Kalau patih mau melihat wajahku, ada dua permintaan yang harus patih penuhi," suara lembut bergema di antara gemericik air Sungai Nagara.
"Apa permintaan yang kau mau, pasti aku kabulkan, asal aku bisa melihat wajahmu yang telah lama aku rindukan," jawab Patih Lambung Mangkurat sambil mendakap lengannya di dada.
"Sebuah istana Batung dan selembar kain yang ditenun dan dicalap (dicelup) oleh 40 putri dengan motif padiwaringin dan harus selesai dalam waktu satu hari," pinta Putri Junjung Buih.
Tanpa ragu, Patih Lambung Mangkurat langsung menyanggupi permintaan itu. Singkat hikayat, kerajaan dan kain itu berhasil dibuatnya dalam waktu satu hari dan Putri Junjung Buih pun menampakkan wajahnya.
Itulah sekelumit cerita rakyat yang turun temurun masih diyakini kebenarannya. Dan kain yang dicelup itulah cikal bakal kain Sasirangan yang kini masih bertahan dan menjadi kain khas masyarakat Banjar. Jadi menurut hikayat, yang pertama membuat kain Sasirangan adalah Patih Lambung Mangkurat yang hidup dan berjaya pada abad XII.
Salahsatu budayawan Kalimantan Selatan, Supian, mengungkapkan, kain Sasirangan dipercaya memiliki kekuatan magis yang bermanfaat untuk pengobatan tradisional atau oleh orang Banjar disebut (batatamba).
"Sasirangan oleh masyarakat Banjar bisa digunakan untuk mengusir roh jahat dan melindungi diri dari gangguan mahluk halus," ujar seniman madihin itu kepada Gatra.com di Banjarmasin, Rabu (27/9).
Dia beberkan, agar bisa digunakan sebagai alat pengusir roh jahat atau pelindung badan, kain Sasirangan biasanya dibuat berdasarkan pesanan (permintaan).
Di awal-awal kemunculannya, kain sasirangan mempunyai bentuk dan fungsi yang cukup sederhana, seperti ikat kepala (laung), sabuk dan tapih bumin (kain sarung) untuk lelaki, selendang, kerudung, udat (kemben), dan kekamban (kerudung) untuk perempuan.
"Seiring perkembangannya, kain ini juga digunakan sebagai pakaian adat yang dipakai oleh kalangan rakyat biasa ataupun keturunan bangsawan saat mengikuti upacara-upacara adat," ujar pria paruh baya yang akrab disapa Amang Iyan itu.
Waktu berlalu, zaman berganti, fungsi dari Sasirangan perlahan berubah, nilai sakral dan roh sasirangan mulai memudar akibat tergerus globalisasi mode.
"Kain yang dulu disakralkan, kini menjadi pakaian sehari-hari yang tidak ada bedanya dengan kain katun dan kaci," cetusnya.
Supian berujar, masih eksisnya Sasirangan di percaturan kain, tergantung dari seberapa besar upaya kita untuk memuliakannya.
"Kain Sasirangan kini mulai kehilangan roh dan kesakralannya. Upaya semua pihak untuk melestarikan sangat penting. Kalau tidak, maka marwah Sasirangan akan terus memudar dan akhirnya hilang termakan zaman," tegasnya.
Sementara itu, di zona lain, jemari lentik Annisa Wulandari, mahasiswi UIN Antasari Banjarmasin, terlihat berkubang warna kuning janar (kunyit). Sore itu, Annisa bersama puluhan temannya sedang praktik membuat kain Sasirangan di gazibu kampus.
Membuat kain adat suku Banjar itu sudah lama diajarkan di kampus tersebut. "Saya bangga bisa ikut belajar membuat kain Sasirangan. Bagi saya, Sasirangan adalah warisan budaya Banjar yang wajib terus dijaga dan dilestarikan terutama oleh generasi muda seperti kami," ujar mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi Syariah itu kapada Gatra.com.
Dia sampaikan, membuat kain Sasirangan bukanlah hal mudah, diperlukan ketekunan, kesabaran, dan kreativitas tinggi untuk menghasilkan sasirangan yang berkualitas.
"Kami belajar membuat kain sasirangan dan ini adalah bagian dari bagaimana kita melestarikan budaya lokal," katanya.
Dalam membuat Sasirangan, Annisa Wulandari dan puluhan temannya urunan untuk membeli bahan seperti kain, pewarna tekstil, dan aneka kebutuhan lainnya termasuk pensel untuk menggambar pola.
"Satu orang kami urunan Rp25 ribu. Uang itu juga untuk membayar jasa pelatih yang kami datangkan dari Pelaihari, nanya pak Ahmad Rohayat," katanya.
Annisa mengaku bangga kala mengenakan kain sasirangan saat ke kampus maupun aktivitas lainnya. "Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi. Sebagai generasi muda, menjaga dan melestarikan Kain Sasirangan adalah kewajiban," cetusnya.
Dengan bangganya, Annisa menyebutkan sejumlah motif Sasirangan yang sudah dia hafal sebagai bukti dia pecinta Sasirangan.
"Motif Sasirangan itu adalah: sarigading, ombak sinapur karang (ombak menerjang batu karang), hiris pudak (irisan daun pudak), bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), kulat karikit (jamur kecil), gigi haruan (gigi ikan gabus), turun dayang (garis-garis), kangkung kaombakan (daun kangkung), jajumputan (jumputan), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), dara manginang (remaja makan daun sirih), putri manangis (putri menangis), kambang cengkeh (bunga cengkeh), awan beriring (awan sedang diterpa angin), benawati (warna pelangi), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), turun dayang (garis-garis), dan sisik tanggiling," sebutnya di luar kepala.