Home Politik Mantan Kader ini Sebut PDI-P Gagal Menjaga Jokowi Sebagai Partner Partai, Apa Artinya?

Mantan Kader ini Sebut PDI-P Gagal Menjaga Jokowi Sebagai Partner Partai, Apa Artinya?

Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Komandan Relawan Prabowo-Gibran, yang juga mantan Sekretaris PDIP Sulawesi Utara 1999-2004, Roy Maningkas menilai langkah PDIP menempatkan Jokowi sebagai petugas partai sejak awal menjabat Wali Kota merupakan salah satu kekeliruan.

Menurut Roy, PDIP seharusnya menjadikan mantan Wali Kota Solo, Gubernur dan Presiden sekarang ini sebagai partner Partai bukan sebagai petugas partai, Jokowi itu datang pada saat PDIP sedang terpuruk, artinya banyak pemilih baru ataupun pemilih PDIP yang sudah mulai ragu.

"Tetapi kehadiran Jokowi di PDIP menambah jumlah pemilih baru dan meyakinkan pemilih lama untuk tetap mendukung PDIP, artinya Pak Jokowi bukan datang dengan tangan kosong," kata Roy yang juga salah satu pendiri Bara JP itu, dalam keterangannya, Kamis (23/11).

Aktivis 1985 mahasiswa ini, yang adalah ketua dewan pembina TIM 8 Prabowo yang merupakan gabungan 8 pendukung kelompok relawan Pak Jokowi yang sekarang mendukung Prabowo-Gibran menyampaikan, hubungan Jokowi dan PDIP sesungguhnya adalah simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan saling menguntungkan.

Sayangnya, lanjut Roy, PDIP lalai memposisikan Jokowi layaknya sebagai partner partai. Sebagai contoh, PDIP tidak menempatkan Jokowi dalam struktural partai dan hanya anggota biasa partai. Jokowi, kata dia, sebenarnya dari awal bukanlah kader ideologis tapi strategic partner yang sifatnya mutual benefit, artinya saling menguntungkan.

"Ini beda dengan kami-kami yang sejak tahun 1980 SMA orde baru sudah jadi kader ideologis partai PDIP, dan sejak mahasiswa sudah mengerti gerakan mahasiswa dengan pemahaman Marhaenis, mungkin kalau kami-kami bolehlah dibilang petugas partai.

Lebih jauh, Roy melihat sejak menjadi wali kota Solo hingga jadi Presiden, Jokowi diperlakukan oleh sebagian besar oknum di pimpinan PDIP, dengan sebutan petugas partai dan beragam kalimat yang mengkerdilkan peran dan kontribusi Jokowi yang adalah strategic partner buat pdip, terhadap kejayaan dan kemenangan PDIP sejak di dari Solo hingga menjadi Presiden. Padahal fakta berbicara," tandasnya.

Apalagi jika menilik data, Roy melanjutkan, PDI Perjuangan sejak tahun 2009 yakni 14,88 juta suara, lalu tahun 2014 naik signifikan 23,67 juta suara, kemudian tahun 2019 PDIP berhasil meraup 27,05 juta suara.

“Apakah PDIP masih akan bertahan seperti sekarang ini kalau tidak ada faktor Jokowi? Jujur saja jika dari awal Jokowi tidak memberi manfaat bagi PDIP pasti beliau sudah ditendang keluar dari partai,” tegas Roy.

Faktor Jokowi selama ini dianggap oknum-oknum partai seolah tidak signifikan kontribusinya buat PDIP. Padahal faktanya, rakyat memilih PDIP dan akhirnya menjadi partai pemenang pemilu dua kali periode berturut-turut setelah hampir 10 tahun menjadi oposisi, salah satu kontributor besarnya adalah Jokowi.

Hal itu bisa dilihat dari kekalahan PDIP dalam beberapa episode pemilihan Presiden ketika menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden.

“Bu Mega saja yang punya partai 2 kali kalah pilpres tahun 2004 dan 2009 di era rakyat memilih langsung. Artinya rakyat sebagai pemilik suara menjadikan Jokowi sebagai pertimbangan utama untuk memilih Presiden dan kemudian PDIP sebagai partai pendukungnya,” ungkap Roy.

Oleh karena itu, Roy menilai wajar jika akhirnya Jokowi melakukan langkah-langkah baru untuk menjamin melanjutkan program dan visi besarnya sebagai presiden.

Roy bilang, Jokowi sebagai orang yang luar biasa sabar. Dihina dan direndahkan begitu rupa sebagai Presiden tetap coba menjaga hubungan dengan partainya. Tapi saya kira Pak Jokowi lebih berpikir jauh bahwa bangsa lebih penting dari pada kepentingan partai, tentu beliau punya cara sendiri untuk merespon keadaan ini dengan pengalamannya sebagai presiden dua periode.

“Saya pernah menganalisa kenapa masih banyak program dan filosofi Revolusi Mental Jokowi bawa belum maksimal. Salah satunya karena beliau tidak punya “kapal induk” atau partai yang benar-benar mendukung dan memberikan memberikan kewenangan kepadanya sebagai presiden,” kata Roy.

Bergabungnya Gibran dengan Prabowo dalam Pilpres mendatang merupakan salah satu bentuk keyakinan Jokowi terhadap suara rakyat. Bahwa sesungguhnya rakyat yang akan menentukan arah kemajuan Indonesia ke depan.

“Sebagai warga negara yang kebetulan saat ini menjabat presiden, Jokowi juga punya hak untuk menjalankan strateginya memajukan Indonesia. Dengan membebaskan Gibran sebagai cawapres Koalisi Indonesia Maju (KIM), Jokowi juga ingin membuktikan bahwa daulat rakyat tetap terjaga,” tutup Roy.

123

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR