Home Teknologi Visi Pertahanan 5.0 Harus Disertai Visi Luar Angkasa

Visi Pertahanan 5.0 Harus Disertai Visi Luar Angkasa

Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Center for Digital Blue & Green Economy, Gatot Prio Utomo, mengatkan, visi pertahanan 5.0 harus disertai visi luar angkasa dan ditopang dengan infrastruktur internet berkecepatan tinggi.

Gatot Prio dalam keterangan pers diterima pada Senin (15/1), menyampaikan, terdapat hal menarik yang disampaikan Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo dalam Debat Capres pada 7 Januari 2024.

Pertama, lanjut Gatot Prio, Ganjar menjadikan Matra Laut sebagai prioritas pengembangan sistem pertahanan, disusul dengan pertahanan udara. Kedua, pemanfaatan teknologi tinggi sistem pertahanan, antara lain rudal hipersonik, senjata autonomous dan penguatan pertahanan siber menjadi perhatian khusus.

Menurut Gotot Prio, visi Ganjar tersebut dapat difahami karena sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi ancaman dari laut dan udara yang lebih besar dibanding serangan melalui darat.

“Keseluruhan strategi tersebut terangkum dalam terminologi teknologi Sakti dan sistem pertahanan 5.0, sebagai analogi perkembangan revolusi industri yang sudah memasuki gelombang kelima yang ditandai dengan peran dan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) yang semakin dominan,” katanya.

Gatot Prio menyampaikan, pihaknya menekankan pentingnya penguasaan teknologi luar angkasa dalam hal ini teknologi satelit dan reusable rocket untuk peluncuran satelit. Teknologi ini dibutuhkan agar 100% wilayah kedaulatan negara Indonesia, termasuk wilayah laut dapat terkoneksi dengan Internet berkecepatan tinggi.

“Sistem Pertahanan 5.0 akan sulit terlaksana apabila tidak tersedia infrastruktur Internet berkecepatan tinggi terutama di wilayah laut,” ujarnya.

Seluruh sistem pertahanan berteknologi maju seperti senjata autonomous, drone, kapal dengan berbagai sensor IoT, serta sistem navigasi berpresisi tinggi akan sangat tergantung pada infrastruktur digital yang mumpuni.

Sesuai rencana, pada tahun 2024 ini, Indonesia akan memiliki total 12 buah satelit yang beroperasi dengan kapasitas sebesar 319 Gbps, bertambah 142 Gbps dari tahun sebelumnya sebesar 177 Gbps.

“Sebagian besar satelit Indonesia tersebut berupa satelit Geostationer (GSO) dengan frekuensi C & Ku-bands dengan sistem klasik single beam,” katnya.

Menurutnya, dengan satelit sebanyak itu, hampir seluruh wilayah Indonesia dapat dicakup namun sulit menyediakan internet dengan kecepatan tinggi. Teknologi klasik ini masih membutuhkan berbagai perangkat yang kompleks, termasuk perangkat backhaul untuk menangkap dan mendistribusikan jaringan komunikasi data di permukaan Bumi.

Trend saat ini, lanjut dia, dunia tengah berlomba-lomba menguasai teknologi satellite direct-to-device (D2D) dengan menggunakan Very High Throughput Satellite (VHTS). Starlink, anak perusahaan Space X milik Elon Musk merupakan pionir yang mendominasi industri ini. Starlink juga akan segera memiliki teknologi satelit D2D yang dapat meliputi hampir seluruh penjuru Bumi.

Bahkan pemerintah Amerika Serikat (AS) berencana menjalankan program Star-shield yang berbasis layanan Starlink. Program Starshield ini dipastikan akan mengubah peta geo dan astro politik dunia.

Pendiri Center for Digital Blue & Green Economy, Wahyu Andrianto, menambahkan, oleh karena itu perlu antisipasi strategis dari pemerintah Indonesia. Negara-negara seperti India, Jepang, Rusia, dan tentu saja China merespons dengan secara agresif mengembangkan program luar angkasanya.

Wahyu mengungkapkan, mereka bahkan telah memiliki sistem pertahanan antisatelit (ASAT-Anti Satellilte Weapons) sebagai kekuatan deteren dalam menjaga ancama satelit asing, maupun mencegah bahaya yang ditimbulkan dengan semakin banyaknya sampah angkasa atau space debris.

Indonesia bukannya tidak memiliki basis untuk menguasai teknologi ruang angkasa ini. LAPAN (BRIN) telah berhasil meluncurkan roket seri RX, serta pengoperasian tiga satelit Non-Geostationer (NGSO), yaitu LAPAN Tubsat, A-2 dan, A-3 yang dipergunakan untuk keperluan observasi Bumi.

“Indonesia hanya butuh satu-dua lompatan lagi untuk dapat dapat menguasai industri hulu (upstream) digital ini,” katanya.

Satelit NGSO yang telah dimiliki LAPAN dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat berfungsi sebagai "BTS Angkasa" layaknya Starlink. Roket milik LAPAN juga dapat dikembangkan menjadi reusable rocket dengan teknologi yang lebih sederhana dibandingkan roket Space X, guna menyediakan layanan peluncuran satelit berbiaya rendah.

Oleh karena itu, ujar Wahyu, sangat penting jika strategi pertahanan Indonesia segera disertai dengan pengembangan teknologi luar angkasa. Keamanan siber dan Sistem Pertahanan 5.0 yang berbiaya tinggi tidak akan menjadi pincang dan rapuh serta tidak mudah dikendalikan oleh negara lain.

Disamping itu, Indonesia dapat memperoleh nilai tambah lain dari penguasaan program luar angkasa ini, yaitu tumbuhnya industri dan pengembangan potensi ekonomi baru, termasuk ekonomi maritim dan startup digital berteknologi tinggi.

“Dengan memasuki kancah industri ruang angkasa, Indonesia akan memiliki posisi prestisius yang akan memperkuat pengaruh diplomasi internasional,” katanya.

210

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR