Jakarta, Gatra.com- Riset Net Zero Waste Management Consortium membongkar identitas brand-brand minuman ternama yang sampahnya ternyata masih menumpuk di enam kota di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya dan Medan. Padahal, beberapa dari brand tersebut termasuk yang getol mengiklankan diri sebagai perusahaan ramah lingkungan.
"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," kata lead researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/2).
Riset menyebut sampah plastik brand minuman ternama itu ditemukan dalam volume yang besar di banyak site, baik di bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.
Baca juga: Sekjen ASPARMINAS: Pemberian Label BPA oleh BPOM Tidak Merugikan Industri AMDK
Pada kategori sampah kemasan botol plastik, riset menyebut tiga brand minuman berkarbonisasi yang sampah botolnya mendominasi pembuangan akhir sampah di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali. Disebutkan dalam laporan riset, dari tiga brand itu total 1.930.495 buah sampah plastik yang berhasil diidentifikasi di enam kota.
Bila ditotal, total sampah trio brand minuman bersoda mengalahkan total sampah botol dia brand minuman mineral. Menurut Ahmad, temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh perusahaan-perusahaan pemilik brand belum efektif.
"Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya," tegas Ahmad.
Baca juga: Nestlé Indonesia Bersama Koinpack by Alner Luncurkan Studi Kemasan Guna Ulang
Dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.
Sekaitan itu juga, pemerintah mengeluarkan kebijakan Up Sizing dimana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.
Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
"Kami mendapati bank sampah di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," katanya.
Baca juga: Viral Hasil Riset! Galon BPA Bisa Bikin Mandul dan Picu Tumor!
Ahmad juga menengarai ketidakjelasan implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.
"Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif dan bahkan mampu mengatasi bias pada claim sepihak oleh yang memperoleh amanat (produsen) dengan modus pencitraan perusahaan semata," katanya.