Jakarta, Gatra.com – Seiring berjalannya waktu, memasuki usia 70 tahun, Si Kembar Noorca M. Massardi dan Yudhistira A.N.M. Massardi tidak membiarkan energi kreatif dan kegemaran mereka terhadap dunia kepengarangan dan kesusastraan bertekuk lutut di hadapan berbagai letupan disrupsi.
Dalam lima tahun terakhir, keduanya terus menulis dan mempublikasikan sejumlah karya; novel, kumpulan puisi hingga naskah drama. Dan jika terjaga usia, tidak sulit untuk menduga bahwa hal yang sama akan terus dikerjakan Si Kembar di hitungan usia setelahnya; 71, 72, 80, dan seterusnya.
Untuk merayakan kiprah dan kegembiraan Si Kembar menyumbangkan cerita, mengulakulik rasa bahasa dan menawarkan bahan-bahan diskusi sastra, rangkaian perhelatan "70 Tahun Si Kembar" dibuat dan dikerjakan.
Program ini berisikan sejumlah event yang relevan mempresentasikan Yudhis dan Noorca dan sumbangan mereka untuk dunia sastra Indonesia dan sejumlah perkara lainnya.
Perayaan 70 Tahun Cinta dan Kreativitas Si Kembar Massardi diadakan di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, West Mall Grand Indonesia lantai 8, pada Rabu, 28 Februari 2024, pukul 14.00-17.00 WIB.
Secara garis besar perhelatan ini menampilkan empat mata acara yaitu; Peluncuran buku puisi “Dari Paris Untuk Cinta” Karya Noorca M. Massardi dan “Kita Seperti Dedaun” Karya Yudhistira A.N.M. Massardi; Diskusi buku bersama Seno Gumira Ajidarma dan Maman Mahayana; Pembacaan puisi oleh para tokoh; dan musikalisasi puisi oleh Soloensis dan kelompok Gayatri.
Dua buku puisi terbaru yang diluncurkan oleh Noorca dan Yudhis masing-masing memuat 70 puisi di dalamnya. Maman Mahayana, yang mengulas buku puisi Yudhistira Massardi, menyatakan bahwa jika mencermati keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini, Yudhistira tampaknya tidak termasuk golongan—meminjam istilah Rendra— penyair salon.
“Ia tidak teralienasi dari problem yang muncul di lingkungan masyarakatnya. Yudhistira juga tidak asyik-masyuk tenggelam dalam perburuan model estetik untuk kepentingan puisi itu sendiri atau bahkan menawarkan metafora yang maknanya terkunci di lemari besi!” tulis Maman Mahayana dalam ulasan di buku “Kita Seperti Dedaun” Karya Yudhistira A.N.M. Massardi.
Menurut Maman, meskipun puisi-puisinya tidak lantang menyuarakan kemarahannya atau setidak-tidaknya, kenceng menyampaikan kritik sosial, ia merasa terpanggil untuk menyuarakan pesan-kemanusiaannya.
Lebih lanjut Maman menjabarkan, puisi di buku ini sebagian besarnya disusun lewat larik-larik pendek, sebagiannya lagi bermain dengan larik-larik panjang. Di antara itu, penyair Yudhistira Massardi kerap bersiasat melakukan enjambemen, yaitu pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi.
Meskipun begitu, keseluruhannya menawarkan berbagai peristiwa yang samar-samar, penuh isyarat, dan coba mempertemukan misteri kehidupan dan kematian; yang dapat dibayangkan dan yang entah, yang fana dan yang hendak abadi atau yang tampak sederhana, tetapi menyimpan kedalaman, atau semacam rekaman peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sosial.
“Jadi, ada kecenderungan menghadirkan berbagai sisi kehidupan yang lalu dibungkus sebagai puisi,” tulis Maman dalam keterangan pers.
Adapun Seno Gumira Ajidarma, yang mengulas buku Noorca Massardi, mengatakan bahwa kumpulan puisi ini adalah sebuah memoar. Dalam rumusan yang lebih canggih, memoar adalah kenangan-kenangan bertumbuh dan berkembang, atawa peristiwa-peristiwa yang dengan suatu cara berakibat kepada penulisnya.
Memoar juga memusatkan perhatian kepada pemikiran dan perasaan penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut; apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka meleburkan pengalaman-pengalaman itu ke dalam hidup mereka.
Sajak-sajak dalam buku ini, yang sebagian besar berjudul nama-nama tempat, yang menjadi bagian dari kenangan ‘ku’ bersama ‘mu’ menjadi pemantik bagi representasi cinta; yang bukan hanya dikenang, tetapi juga dihayati, dijaga, bahkan dihidupkan, dengan sebisa mungkin mengungkap kembali pesona, ketakjuban, dan kebahagiaan, yang kalaupun tidak sama, pencapaiannya setara.
“Cinta yang menjadi inti kumpulan sajak Noorca ini tidak sekadar diungkap dalam metafor, tetapi menjadi dunia yang dihidupi, dunia cinta, tempat apa pun itu, subjek apa pun itu, makanan apa pun itu, kehadirannya hanya relevan dalam kerangka cinta. Hubungan romantik itu seperti diserap Paris, untuk dimunculkan kembali sebagai Paris yang hanya menjadi milik ‘ku’ dan ‘mu’,” kata Seno Gumira Ajidarma mengenai buku “Dari Paris Untuk Cinta” Karya Noorca M. Massardi.
Selain puisi, kedua buku ini juga memuat testimoni dari beberapa tokoh. Kutipan testimoni tersebut di antaranya ?penulis Seno Gumira Ajidarma, penulis. Ia mengatakan, dunia jurnalistik mempertemukannya dengan Noorca dan Yudhis di Jakarta.
Seno Gumira, Noorca, dan Yudhis kemudian sama-sama mendirikan Majalah Jakarta-Jakarta. “Saya harap mereka terus menulis dan berkontribusi. Saya kira Noorca dan Yudhis itu masih aktif. 70, tapi seperti masih 35,” ujarnya.
Bandingkan saja, lanjut Seno Gumira, mereka sama penulis-penulis berumur 35 atau 40 tahun sama saja. Tidak ada image tua pada mereka. “Sindrom tua itu enggak ada. Malah sindrom muda yang ada. Ha ha ha,” ujarnya.
Penyair Warih Wisatsana, menyampaikan, Bang Noorca dan Bang Yudhis belakangan juga menemukan dinamikanya kembali. Ketika orang seusia mereka justru pensiun, mereka malah keliling ke mana-mana. Menariknya, keluarga Massardi, saya kira selalu hadir dalam fenomena sastra, seni, dan sosial di Indonesia.
“Karena itu, panggilan berikutnya, saya kira, mereka harus membangun institusi, semacam ruang publik seni untuk transfer knowledge dengan generasi muda,” katanya.
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, menyampaikan, sangat menyenangkan melihat Mas Yudhis masih aktif keliling ke berbagai kota untuk meningkatkan minat dan apresiasi publik terhadap sastra.
“Dengan Mas Noorca saya biasanya diskusi soal kebudayaan dan lebih sering bertemu karena Mas Noorca juga anggota Lembaga Sensor Film (LSF) yang ada di bawah naungan Ditjen Kebudayaan. Harapan saya, memasuki usia 70 tahun agar Mas Yudhis dan Mas Noorca tetap sehat dan tentunya terus menyinari dunia kita dengan karya.”
Penulis Leila Chudori, mengatakan, Noorca dan Yudhis adalah senior yang sering saya tanya-tanya. Generasi kami berdekatan sebagai generasi analog. Akses kami terhadap bacaan juga terbatas, apalagi buku impor.
“Saya merasa di zaman itu orang-orang lebih serius belajar. Kami terus-menerus mengasah kemampuan kami,” kata Leila.
Menurutnya, stamina dan kegigihan angkatan-angkatan di masa itu luar biasa. Anak-anak muda yang belajar sama yang senior tidak merasa gengsi. “Saya berguru secara sporadis dengan banyak orang. So, selamat ulang tahun untuk Yudhis dan Noorca. Saya, sebagai pembaca mereka sejak dulu, berharap bisa menikmati karya-karya mereka yang baru.”
Sementara itu, Aktor Slamet Raharjo, mengaku sangat ?dekat dengan Yudhis dan Noorca. Seni membuat mereka lebih bersahabat.
“Saya menganggap bahwa seorang seniman itu tidak boleh bohong. Dan saya melihat selalu ada kejujuran di dalam karya-karya Noorca. Selamat buat Noorca dan Yudhistira Massardi,” katanya.
Slamet Raharjo mengaku senang bersahabat dengan Noorca dan Yudhistira. “Tidak pernah kami punya konflik apa pun, kecuali saling mendukung. Terima kasih, Tuhan, karena telah memberikan dua anak kembar itu sebuah perjalanan karier yang alfabetik, bagus. Tidak melompat-lompat. Tidak ada kebetulan dalam meniti kariernya. Mereka adalah orang yang ingin, orang yang bercita-cita, tetapi semua itu dijalani secara sehat dan saling mencinta.”