Jakarta, Gatra.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12% pada tahun 2025, setelah naik menjadi 11% pada April 2022 lalu.
Alasan utama kenaikan PPN itu adalah karena kenaikan tersebut merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Berdasarkan Pasal 7 Ayat 1 UU tersebut, tarif PPN yang sebelumnya berada di tingkat 10% diubah menjadi 11% pada April 2022 lalu, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 12% pada tahun depan.
Airlangga mengatakan bahwa kenaikan ini sudah selaras dengan konsep keberlanjutan kebijakan pemerintah saat ini dengan pemerintah baru nanti. Ia pun mengindikasikan bahwa masyarakat sudah setuju dengan konsep keberlanjutan ini, termasuk kebijakan-kebijakannya.
“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN [12%],” kata Airlangga, seperti dilansir Antara, Jumat pekan lalu.
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa memang kebijakan kenaikan PPN ini merupakan amanat UU HPP yang merupakan keputusan bersama antara pemerintah dan DPR.
Tauhid memahami bahwa di satu sisi, kenaikan PPN itu bisa jadi didasarkan pada kondisi ekonomi masyarakat yang sudah lebih stabil selepas pandemi Covid-19. Namun, di sisi lain, ia juga menyoroti soal seberapa jauh konsumsi masyarakat membaik atau tidak di lapangan.
“Kalau kita lihat data dari BPS, pertumbuhan konsumsi masyarakat itu masih di bawah standar. Katakanlah 5% standaranya, kalau kita lihat dua kuartal berturut-turut, kita masih di 4,8 atau 4,9, which is belum sampai lah begitu,” kata Tauhid kepada Gatra.com, Kamis (14/3).
Dengan demikian, kata Tauhid, kalau kenaikan PPN ini pada akhirnya berjalan dan dibebankan kepada masyarakat, maka kebijakan ini dikhawatirkan bisa menggerus konsumsi masyarakat di tahun 2025 mendatang.
Meski begitu, Tauhid melihat masih sangat terbuka kemungkinan penundaan kebijakan kenaikan PPN ini. Hal itu antara lain bisa disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang masih rendah. “Bisa saja nanti ada keputusan bersama untuk menunda. Itu sangat mungkin,” katanya.
Tauhid sependapat dengan anggapan bahwa kenaikan PPN ini akan memberatkan kelompok masyarakat menengah ke bawah, termasuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.
“Kelas menengah ini kena. Lihat saja pembelian barang-barang konsumsi di pusat perbelanjaan, kemudian retail. Kalau barang konsumsi rata-rata menengah ke bawah karena ekonomi kita ditopang kelas menengah dan basisnya adalah konsumsi,” tutur Tauhid.
Sementara dari sisi pelaku usahanya, kata Tauhid, kebijakan kenaikan PPN ini diprediksi tidak akan terlalu berpengaruh pada tarif jasa-jasa kesehatan dan pendidikan. Namun, ia meyakini kebijakan ini akan berdampak signifikan pada produk-produk industri.
Tauhid mengatakan bahwa timnya di INDEF kerap melakukan kalkulasi ketika muncul wacana kenaikan PPN. Biasanya, kata dia, kenaikan PPN akan menggerus konsumsi masyarakat dan menurunkan ekspor dan impor. Selain itu, secara kumulatif kenaikan PPN biasanya akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi.
Tauhid mengatakan bahwa belajar dari pengalaman negara-negara lain, penerimaan pajak pemerintah idealnya dilakukan dengan cara meningkatkan basis pajak, dan bukan meningkatkan tarif pajak. “Kalau basis pajaknya bertambah baik, ya otomatis ini akan jauh lebih baik,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN 12% ini, kalau diakumulasikan dalam kurun waktu empat tahun terakhir, maka kenaikan sebenarnya ialah 20%, dan bukan 2%.
“Dari 10% ke 11% kemudian ke 12% total ya 20% naiknya. Ini kenaikan tarif PPN yang sangat tinggi,” ujar Bhima dalam keterangan tertulisnya.
Bhima mengkhawatirkan dampak kenaikan PPN ini kepada kelompok masyarakat kelas menengah. Saat ini, masyarakat kelas menengah sudah dihantam kenaikan harga pangan, terutama beras. Di samping itu, kegiatan ekonomi masyarakat kelas menengah juga dihantui tingginya suku bunga. “Sulitnya cari pekerjaan. Ke depan masih ditambah penyesuaian tafif PPN 12%,” uajrnya.
Lebih lanjut, Bhima khawatir belanja masyarakat akan menurun. Ia memprediksi penjualan produk sekunder, seperti barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, hingga alat kosmetik atau kecantikan, akan melambat.
Bhima juga memprediksi akan ada imbas buruk kenaikan PPN 12% ke para pelaku usaha. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi berimbas kepada menurunnya omzet perusahaan. Hal itu dikhawatirkan bisa membuat para pemilik usaha mau tidak mau melakukan penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja. “Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor,” ujar Bhima.
Oleh karena itu, Bhima mengimbau agar pemerintah memikirkan ulang kembali rencana menaikkan tarif PPN 12% ini. Ia mengatakan kebijakan ini bisa mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Lagi pula, kata dia, kenaikan tarif PPN ini bukanlah solusi untuk meningkatkan pendapatan negara.
“Sebaiknya rencana penyesuaian tarif PPN dibatalkan. Kalau mau, dorong rasio pajak perluas dong objek pajaknya bukan utak atik tarif. Menaikan tarif pajak itu sama dengan beburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif,” kata Bhima.
Sebagai alternatif dari kenaikan tarif PPN 12%, Bhima mendorong pemerintah untuk untuk mulai membuka kemungkinan pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax), dan penerapan pajak karbon.