Bantul, Gatra.com –Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan upaya mendorong keberadaan para dokter dan tenaga kesehatan di daerah harus didukung database kebutuhan. Di sisi hulu, IDI menuntut negara menentukan standar pembiayaan dan kompetensi pendidikan kedokteran.
Ketua Umum Pengurus IDI, Moh. Adib Khumaidi, Jumat (17/5) di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan, saat ini persoalan kebutuhan dokter tidak hanya di sisi produksi, melainkan juga di sistem distribusi.
“Dokter hanya mau mengisi di daerah-daerah kota, yang sebenarnya sudah banyak dokter. Untuk mendorong pemerataan ke seluruh wilayah Indonesia, kami membutuhkan database kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan dari pemerintah,” kata Adib.
Untuk penyediaan database kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan, IDI meminta negara untuk berkolaborasi dengan pemangku kepentingan di bidang kesehatan seperti rumah sakit, lembaga pendidikan, dan organisasi profesi.
“Kolaborasi inilah yang nantinya akan menghasilkan dokter-dokter yang dibutuhkan dan bagaimana sistem pendistribusian pemerataannya,” jelas Adib.
Adib menyatakan, pihaknya juga melihat bahwa persoalan pemerataan dokter juga terkait dengan aspek hulu yaitu sistem produksinya. Menurutnya, konsep pendidikan kedokteran belum menyatukan standarisasi pendekatan berbasis universitas dan pendekatan berbasis rumah sakit.
Modifikasi atau memadukan standarisasi pendekatan berbasis universitas dan rumah sakit dinilai menjadi aspek penting dalam melahirkan profesi dokter yang memenuhi standar pendidikan dan kompetensi.
“Dua hal itu menjadi komponen utama. Jangan sampai nanti kemudian ada yang satu standarnya berbeda dengan yang lain,” lanjut Adib.
Melalui pendidikan yang memiliki standarisasi kebutuhan universitas dan rumah sakit ini, para dokter juga akan mengedepankan kepentingan dan kualitas kesehatan yang sama pula.
Adib juga menjelaskan ihwal peran pemerintah di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit. Ia menyatakan pemerintah seharusnya memberikan insentif kepada pengajar sesuai UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Kesehatan karena pengajar telah bekerja dan memberi pelayanan.
Adib hadir di Yogyakarta untuk menghadiri seminar saintifikasi jamu dengan tema ‘From Bench to Bedside: Translating Herbal Research into Clinical Practice’ bersama Dewan Jamu Indonesia.
Ketua Ketua IDI DIY, Joko Murdiyanto, menyatakan budaya mengonsumsi jamu telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO akhir tahun lalu.
Untuk itu, IDI berkepentingan mendorong perkembangan jamu ke arah saintifikasi ke upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif pelayanan kesehatan tradisional.
"Kekayaan flora dan fauna Indonesia menjadi fondasi kuat kehadiran jamu alami. Ini menjadi tanggung jawab kita untuk pemanfaatannya untuk menciptakan bahan herbal terstandar kesehatan serta membuka peluang ekonomi,” pungkas Joko.