Jakarta, Gatra.com – Tak berlebihan kiranya menyebut Theresia Ngutra, SPd., S.H., MPD., M.H., sebagai salah satu pendekar pendidikan di Tanah Papua. Pasalnya, dosen berdarah Maluku dari Suku Kei ini mau merogoh kocek pribadinya untuk membiayai sekolah seratusan lebih anak-anak Papua.
Theresia usai menyelesaikan pendidikannya di Magister Ilmu Hukum di Universita Pancasila (UP) Jakarta dan diwusuda di JCC pada Selasa (21/5), menyampaikan, awalnya terpanggil untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak dan orang tua dari anak-anak Papua.
Dosen di Universitas Caritas Papua dan Universitas Papua Manokwari ini merasa terpanggil akan masa depan anak-anak Papua, khususnya di Kota Manokwari, Provinsi Papua Barat.
“Kalau saya pergi mengajar ke kator, saya lihat anak-anak itu tidak sekolah. Mereka tidak sekolah katanya karena sekolahnya jauh,” kata Theresia membuka cerita dalam konferensi pers Wisuda UP di JCC.
Jiwanya resah dan terpanggil karena bagaimana masa depan anak-anak Papua ini kalau tidak sekolah. “Saya terpangil,” ucapnya tak kuasa membendung air mata menceritakan kisahnya berupaya memberikan pendidikan kepada anak-anak Papua.
Theresia pun mendatangi orang tua dari anak-anak tersebut. Adapun ia tinggal di rumah yang berlokasi di belakang kantor Bupati Manokwari. Lantas ia menanyakan kepada orang tua dari sejumlah anak ini mengapa anak-anaknya tidak sekolah.
“Kataya tidak ada biaya. Anak-anak ini jumlahnya banyak sekali, tiap hari mereka ikut dengan orang tua ke kebun,” ungkapnya.
Selain jarak sekolah cukup jauh, mereka juga tidak mempunyai kendaraan untuk mengantarkan anak-anaknya. Paling berat, para orang tua tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya.
“Biaya sekolah mahal, baru masuk TK saja bayar Rp8 juta, rata-rata pekerjaan orang tua itu adalah petani,” ujarnya.
Merasa resah dengan kondisi dan masa depan anak-anak Papua, Theresia kemudian menanyakan kepada anak-anak dan orang tuanya, apakah anak-anak mau sekolah.
“Mereka mau. Kalau begitu sekolah di gubuk boleh? Boleh. Saya kumpulkan anak-anak itu hampir 100 orang,” katanya.
Tak berpikir panjang, Theresia pun mendirikan tenda dari terpal dengan tiang kayu sebagai kelas untuk belajar seratusan lebih anak-anak di Manokwari. Meski banyak keterbatasan, mereka sangat antusias belajar dan sekolah. “Mereka punya semangat, mereka punya cita-cita, mau sekolah,” katanya.
Berdirinya tenda dan mulai berlangsungnya proses belajar mengajar belum sepenuhnya membahagian para orang tua dari seratusan anak tersebut. Pasalnya, mereka masih memikirkan dari mana uang untuk membayar biaya sekolah.
Para orang tua murid pun memanggil Theresia dan menyampaikan bagaimana biaya sekolah anak-anaknya karena mereka tidak punya uang. “Saya bilang gratis. Saya bilang nati saya yang urus. Jadi sudah sekolah saja,” ia menuturkan.
Setelah ada pernyataan tersebut, para orang tua anak-anak atau murid tersebut merasa lega. “Puji Tuhan mereka [anak-anak] datang ke sekolah tiap hari, anak-anak senang banget,” ucapnya.
Theresia pun lantas menyampaikan, bukan hanya mendapat pendidikan, anak-anak ini juga harus mendapat legalitas terkait pendidikannya. Ia pun lantas mendirikan yayasan yang menaungi “sekolah” yang masih alakadarya tersebut.
Theresia pun lantas mendirikan Yayasan Cahaya Papua Barat. Selain itu, ia pun mulai menjajaki kerja sama untuk mengembangkan pendidikan bagi anak-anak di sekolahnya. Kini ada dua sekolah yang telah berjalan, yakni Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar Sowi Indah Manokwari.
“Mereka sudah sekolah 2 tahun, sekarang sudah ada kelompok bermain, ada TK tahun ini lulusan kedua, ada SD, tahun depan SD-nya sudah tamat,” katanya.
Bukan hanya mengajak anak-anak sekolah, Theresia juga mengajak para orang tuanya untuk menimba ilmu. Anak-anak TK dan SD belajar pada pagi hari sampai siang. Sedangkan orang tuanya sekolah pada sorenya.
Meski baru berdiri dan banyak ketrbatasan, Theresia tidak menyediakan tenaga pendidik alakadarnya. Semua guru di TK dan SD tersebut adalah sarjana. Ia merogoh kocek pribadinya dari gaji hasil bekerja sebagai dosen untuk membayar gaji para guru dan memenuhi kebutuhan operasional sekolah.
Namun, gajinya sebagai dosen, belum cukup untuk menutupi gaji guru dan operasional sekolah. “Untuk gaji guru itu karena sarjana semua minimal, gajinya dari awal itu Rp750 ribu satu guru, sekarang saya naikkan jadi Rp1,5 juta per guru. Gurunya ada enam,” ujarnya.
Theresia pun tidak sungkan mengabil dana dari hasil bisnis atau usaha pribadinya demi masa depan anak-anak Papua. “Saya ada usaha juga, saya ada bisnis sedikit-sedikit untuk tambahan,” katanya.
Namun, ternyata juga masih kurang. Ia pun mengajukan prpoposal untuk mengajukan bantuan kepada Pemkab Manokwari dan Provinsi Papua Barat karena keuangan yayasanya belum stabil. Sayangnya, Pemda belum bisa membantu.
“Saya harap pemerintah pusat bisa bantu. Saya 6-7 bulan berada di sini [Jakarta] jadi gurunya belum dibayar, jadi bantu doa ya semoga saya bisa dapatkan,” ucapnya.
Meski mempunyai banyak keterbatasan, khususnya dana, tidak menyurutkan semangat alumni Magister Hukum UP Jakarta ini untuk meningkatkan pendidikan anak-anak Papua dan para orang tuanya.
“Saya sudah lapor ke dinas nanti dibuka lagi SMP. Ada lulusan beberapa paket, ada beberapa lulusan orang tua yang sekolah, tahun ini ada sekitar 30-an orang tua yang mendaftar untuk paket A, B, dan C.
“Saya merasa hanya dengan pendidikan yang bisa mengubah dan dengan pendidikan orang bisa sejahtera,” tandas perempuan lulusan S1 dari salah satu universitas di Papua dan S2 di Makassar tersebut.
?Sedangkan untuk kesan-kesan kuliah Magister Ilmu Hukum di UP, Theresia menyampaikan, tenaga pengajarnya hebat-hehat dan sangat disiplin. “Kami bangga sekali menjadi lulusan Universitas Pancasila,” tandasnya.
Mendengar kisah perjuangan dan kesulitan Theresia untuk memajukan anak-anak Papua melalui pendidikan, Ketua Pembina Yayasan UP, Dr.(HC.) Ir. Siswono Yudo Husodo, mengatakan, siap membantu untuk membayar gaji para guru yang masih tertunggak.“Nanti saya bantu,” ujarnya.