Home Apa Siapa Dirjen PP Prof. Asep Nana Mulyana Berprinsip Harus Meninggalkan Legacy

Dirjen PP Prof. Asep Nana Mulyana Berprinsip Harus Meninggalkan Legacy

Jakarta, Gatra.com – Direktur Jenderal Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, berprinsip di manapun bekerja harus meninggalkan warisan (legacy) yang bagus dan bermanfaat.

“Saya punya prinsip di manapun kerja, harus meninggalkan legacy,” kata Prof. Asep di kantornya bilangan Kuningan, Jakarta Selatan (Jaksel), pada pekan ini.

Pria berdarah Sunda tersebut ketika didaulat memimpin Ditjen PP Kemenkum HAM pada Kamis, (23/2/2023) lalu, langsung tancap gas melakukan sejumlah pembenahan hal-hal yang dinilainya kurang memuaskan.

Salah satunya, lanjut Prof. Asep, membehani sistem harmonisasi perundang-undangan atau regulasi lainnya yang menjadi salah satu tugas utama dari Ditjen PP. Sebelumnya, ini belum menggunakan kecerdasan buatan sehingga harmonisasi regulasi bisa mencapai 6 sampai 7 hari.

Ia lantas mencari tahu dan menanyakan langsung kepada bagian tersebut mengapa ini berlangsung cukup lama. “Saya tanya ke staf, kenapa bisa lama, bisa 6-7 hari?” ucapnya.

Staf tersebut kemudian meminta Prof. Asep untuk melihat sistem kerja di bagian tersebut yang belum menerapkan teknologi informasi atau kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

“Saya lihat, jadi mereka edit satu-satu, manual. Jadi disesuaikan dulu formatnya, dilihat dulu, marginnya samain dulu, dan sebagainya,” Prof. Asep menuturkan.

Begitupun saat satu kementerian atau lembaga ingin melakukan harominisasi suatu Undang-Undang (UU) atau regulasi lainnya. Mereka harus datang langsung ke Ditjen PP Kemenkum HAM untuk menyerahkan berkas.

Petugas atau tim dari Ditjen PP kemudian mengecek satu persatu, menelaah, dan seterusnya untuk memastikan bahwa regulasi yang diundangkan dengan yang diharmonisasi sama.

“Antara yang diundangkan dengan yang diharmonisasi, ada kekeliruan enggak dari substansi regulasi. Kemudian diedit sampai keluar namanya lembar lepas, yang ada garis bawah dan burung Garuda, itu bisa 6 sampai 7 hari,” ujarnya.

Lebih lanjut Prof. Asep mengungkapkan, akan memerlukan waktu lebih lama lagi kalau perundang-undangan atau regulasinya yang akan diharmonisasi itu terdapat lampiran tabel.

“Kalau ada lampiran tabel, diedit satu-satu. Ya itu tadi karena konvensional. Makanya saya mengambil terobosan, kita buat aplikasi e-pengundangan,” katanya.

Setelah itu dibuat, pihak kementerian/lembaga tidak lagi harus datang ke Ditjen PP untuk menyerahkan berkas seperti sebelumnya. Sekarang cukup hanya mengirimkan soft copy melalui aplikasi e-perundangan.

“Masuk ke aplikasi dan sistem kami, nanti dicek dan bisa dipantau, di mana mandeknya nih, apa masih di meja dirjen, direktur, kemudian ditelaah. Itu lebih cepat,” katanya.

Setelah menggunakan aplikasi tersebut bisa memangkas waktu sangat signifikan. Terlebih lagi kalau format soft copy yang digunakan oleh pengirim sesuai dengan format yang pakai di aplikasi e-pengundangan.

“Sekarang bisa 5-10 menit saja dari 5-6 hari. Paling lama 20 menitan sudah selesai. Kami meminta K/L, kalau Bapak atau Ibu mau lebih cepat maka ikut format yang disediakan, jadi enggak usah ganti huruf lagi, format, dan sebagainya,” kata dia.

Pria yang bakal dilantik menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa, (11/6/2024) nanti, sangat bersyukur bisa memangkas serta menghemat waktu hingga biaya untuk mengharmonisasi regulasi.

Terlebih lagi, lanjut Asep, jumlah regulasi yang harus diharmonisasi sangat banyak, yakni mencapai sekitar 1.500-an, terdiri dari UU, Peraturan Pemerintah (PP), peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan lembaga, dan seterusnya.

“Terbanyak itu peraturan kementerian/lembaga sekitar1.200-an, hampir 80%-nya. Sisanya Perpres dan sebagainya,” kata dia.

Ia menjelaskan, dalam mengharmonisasi regulasi, pihaknya mengecek semuanya. “Mulai dari PAK, urgensinya dicek dulu segala macam, ini butuh waktu lama. Belum lagi nanti dicek lagi apa konsederannya, kira-kira bertentangan enggak UU ini dengan yang sudah ada, atau menambah atau mengurangi harus dicek lagi. Padahal peraturan atau UU yang eksisting itu kurang lebih 50 ribuan yang ada sekarang ini, harus satu-satu,” katanya.

Atas dasar itu, lanjut Prof. Asep, pihaknya melakukan digitalisasi dengan menggunakan AI sehingga memudahkan dan mempercepat pekerjaan serta hasilnya sangat optimal.

“Pada saat masuk ke AI, mana UU yang ada tentang A akan muncul rankingnya. Misalnya sekarang buat aturan tentang tata kelola sampah, maka akan muncul UU Lingkunan Hidup, UU Kesehatan, dan rankingnya bisa urut. Yang paling dekat itu 90%, ke bawahnya. Demikian aturan di bawahnya, peraturan pemerintahnya, dan seterusnya,” ujar dia.

Penggunaan AI, lanjut Prof. Asep, memastikan ada UU atau regulasi mengatur suatu hal maka yang mucul dari hasil pencarian hanya tentang itu serta akan muncul notifikasi hanya terkait itu. “Kemudian norma, nanti beri tahu pada kita, kalau misalnya seperti ini bertentangan dengan UU ini,” ujarnya.

Awalnya Ditjen PP menjadikan Kemenkeu sebagai pilot project (proyek percontohan). Hasilnya sangat menggembirakan sehingga kemudian diterapkan di Kemkes, Kemenperin, Kemendikbudristek, dan seterusnya. “Dikbud yang paling banyak regulasinya sama Kemenkeu,” katanya.

Selain itu, Prof. Asep juga membuat sitem pembagian kerja, yakni menghapus Pokja menjadi Tim Kerja. Tim Kerja ini menjadikan setiap orang mendapat tugas yang merata dan terdata secara baik. Tidak ada lagi yang mendapat tugas sangat banyak, sementara yang lainnya sangat sedikit.

“Dulu satu regulasi, ahli perancang numpuk semua di situ, sekarang enggak, sekarang merata, terdistribusi. Jadi tidak ada seorang pun yang nganggur dan tidak ada yang kerja sampai over karena kami atur,” ucapnya.

Selain itu, semua akan kebagian harmonisasi di semua kementerian atau lembaga. Bukan hanya itu, sekarang tidak bisa nawar ingi  hanya di satu K/L. Dulu kalau sudah di satu kementerian atau lembaga maka akan terus di kementerian itu sehingga wawasan, kompetensi, dan lainnya tidak berkembang.

“Sekarang saya putar-putar dalam harmonisasi, sekarang kementerian A, besok B, terus C, dan seterusnya. Jadi merata, merata pengetahuannya dan kompetensi, merata pekerjaannya, enggak ada yang berpangku tangan atau yang sampai terlalu bayak,” ucapnya.

Prof. Asep juga mengubah sistem zonasi. Ia menjelaskan, sistem zonasi ini membuat tidak bisa mengambil pekerjaan di luar zona-nya meskipun sedang tidak ada pekerjaan.

Dengan penghapusan zonasi tersebut maka di luar zonasi bisa mengambilnya ketika ada pekerjaan. Ini juga menjadikan pembagian tugas menjadi merata sehingga tidak ada yang super sibuk dan ada yang tidak ada pekerjaan.

“Kita buat sistem dan ekosistemnya yang baik dulu. Dulu 4 tahun tidak pernah dapat Zona Integritas WBK, zaman saya dapat WBK. Saya dorong, namanya WBK itu bukan hanya kemauan dirjen atau direktur saja, ini milik kita semua, direktorat,” ucapnya.

Ia menjelaskan, beberapa langkah di atas itu merupakan bagian dari tagline “Regulasi Berkualitas dan Berintegritas Menuju Indonesia Emas”. Kualitas sudah pasti, enggak perlu dibahas lagi. Kenapa berintegritas, karena saya berpikir, sebuah aturan kalau dibuat atau diproses oleh orang-orang yang tidak punya integritas, akan mudah disalahgunakan dan mudah diselewengkan, mudah dibengok-bengkokan,” ujarnya. 

66

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR