Jakarta, Gatra.com- Adanya rasionalisasi biaya haji dan masa tunggu yang panjang menjadi dua rintangan utama bagi umat Islam di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji pun dinilai menjadi solusi dalam mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Acep R Jayaprawira menjelaskan adanya kenaikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. "Biaya di Arab Saudi meningkat karena adanya berbagai faktor. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dan negosiasi yang intensif dengan pihak Arab Saudi untuk mengendalikan kenaikan biaya ini," ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'Mencari Solusi Biaya dan Masa Tunggu Haji', Senin (10/6).
Baca juga: Seluruh Jemaah Gelombang Pertama Sudah di Makkah, Kecuali ......
Acep mengatakan, UU 34/2014 sebagai regulasi yang mengatur pengelolaan dana haji perlu diperbaiki untuk memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam pengelolaan dana, termasuk pembentukan pencadangan kerugian. Sebagai contoh kalau di industri keuangan lainnya, ada yang namanya pencadangan dana sebagai mitigasi risiko, namun saat ini tidak diatur oleh regulasi yang ada.
"Reformasi regulasi haji menjadi langkah awal yang penting. Perubahan dalam undang-undang dapat memberikan BPKH lebih banyak keleluasaan dalam mengelola risiko dan memperluas pilihan investasi" papar Acep.
Meski meyakinkan perlunya revisi UU 34 tahun 2014 Acep meyakinkan Umat Islam khususnya calon jemaah haji bahwa pengelolaan dana haji oleh BPKH saat ini aman, transparan, efisien dan likuid.
Ia pun mengusulkan agar calon jemaah haji yang akan berangkat beberapa tahun sebelumnya sudah diinformasikan, sehingga bisa mempersiapkan dananya dengan mengangsur, sehingga lebih ringan.
Pengelolaan dana haji yang efektif dan efisien merupakan kunci untuk mewujudkan haji yang lebih terjangkau dan berkualitas. BPKH terus berupaya untuk meningkatkan kinerja dan pelayanannya, dengan harapan dapat memberikan pengalaman haji yang terbaik bagi umat Islam di Indonesia.
Pengelolaan Masa Tunggu Haji
Selain persoalan regulasi, biaya tinggi, dan tidak adanya pencadangan keuangan haji, masa tunggu haji di Indonesia juga menjadi tantangan lain.
Masa tunggu haji di Indonesia bisa mencapai lebih dari 40 tahun, karena kuota haji yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah pendaftar.
Untuk mengatasi masalah ini, Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, menekankan pentingnya efisiensi dalam pengelolaan kuota haji. "Pemerintah harus lebih optimal dalam menjalankan instrumen keuangan yang ada. Banyak instrumen yang bisa memberikan nilai manfaat lebih tinggi, namun belum dimanfaatkan dengan baik," tegasnya.
Baca juga: Rennu, 98 Tahun, Mengaji di Tempat Jibril Mengajari Nabi
Ia juga menyarankan adanya transparansi dan edukasi bagi calon jemaah tentang kondisi ekonomi dan perubahan biaya yang mungkin terjadi. Hal ini penting agar calon jemaah dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik, baik dari segi finansial maupun mental, untuk menjalani masa tunggu yang panjang.
Kemudian, Mustolih mengusulkan perlunya kampanye literasi haji yang masif agar masyarakat memahami bahwa haji hanya wajib bagi yang mampu secara finansial dan fisik.
"Haji adalah kewajiban bagi yang mampu. Harus ada edukasi bahwa yang tidak mampu secara ekonomi tidak wajib untuk melaksanakan haji," tegasnya.
Pengelolaan masa tunggu ibadah haji membutuhkan strategi yang komprehensif dan kolaborasi berbagai pihak. Dengan pengelolaan dana yang efisien, kampanye literasi yang tepat, dan kerjasama antara lembaga terkait, diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji dan memangkas waktu tunggu bagi jemaah.